Sri Mulyani Ingatkan Politik Identitas Bisa Hancurkan RI
HONG KONG, SATUHARAPAN.COM - Dalam sebuah wawancara dengan Financial Times di sela-sela acara pertemuan Asian Infrastructure Investment Bank, di Hong Kong, (02/11), Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengingatkan Indonesia harus mewaspadai bahaya politik identitas seiring berkembangnya media sosial yang memperburuk ketegangan ras dan agama yang bangkit menjelang serangkaian pemilihan kepala daerah.
"Presiden pertama kami menyadari bahwa masalah identitas dapat membentuk atau menghancurkan negara ini," kata Sri Mulyani.
"Dalam persaingan yang sangat ketat ini, mereka yang benar-benar ingin memenangkan pemilihan bisa saja menggunakan apa pun dari retorika sampai janji dan menciptakan perpecahan yang lebih dalam di antara rakyat, seperti yang Anda lihat di AS dan banyak negara."
Kendati demikian, dia berharap masyarakat Indonesia dapat memperdebatkan isu-isu sensitif ini sambil menghormati perbedaan di negara berpenduduk 260 juta yang hampir 90 persen beragama Islam tapi ada ratusan kelompok etnis, agama dan bahasa minoritas.
"Saya mengandalkan kematangan rakyat untuk menciptakan kekuatan penyeimbang, jadi ketika beberapa mencoba untuk beranjak ke titik ekstrem, biasanya mereka akan melakukan koreksi," katanya, dikutip dari laporan Financial Times.
Ketegangan yang diakibatkan politik indentitas memuncak pada dipenjarakannya mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama akibat tuduhan penistaan agama. Banyak yang berharap ketegangan akan mereda setelah itu. Namun perdebatan identitas tampaknya justru semakin memanas menjelang pilkada di seluruh Indonesia tahun depan dan pemilihan presiden tahun 2019, ketika Jokowi akan bertarung untuk periode kedua.
Anies Baswedan, yang terpilih sebagai gubernur Jakarta pada bulan April, telah mendapat kecaman ketika menggunakan kata 'pribumi' dalam pidatonya di hari pertama menjabat. Hal itu mengungkit kenangan buruk masarakat Tionghoa.
Sri Mulyani berharap para pemilih akan fokus pada catatan ekonomi Jokowi, dengan alasan bahwa fokusnya pada perbaikan bertahap terhadap iklim investasi akhirnya kini berbuah.
Indonesia sebagai perekonomian terbesar di Asia Tenggara naik dari posisi 91 ke posisi ke-72 tahun ini di peringkat global Bank Dunia mengenai kemudahan berbisnis. "Ini adalah lompatan luar biasa dan menunjukkan bahwa dia sangat gigih," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani memperkirakan ekonomi akan meningkat sedikit tahun depan berkat perbaikan ini, serta kenaikan pajak yang lebih tinggi dan fokus Jokowi dalam mengimplementasikan proyek infrastruktur.
Pemerintah memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto akan mencapai 5,4 persen tahun depan dari 5 persen tahun lalu dan perkiraan 5,2 persen tahun ini.
Namun analis berpendapat bahwa Jokowio, mantan eksportir furnitur, terlalu fokus pada proses daripada kebijakan, membatasi naiknya pertumbuhan dan kurangnya kemampuannya untuk mengatasi masalah mendasar dari ketidaksetaraan sosial.
Secara khusus, dia dinilai belum berbuat banyak untuk mengatasi masalah mendasar seperti ketidakpastian hukum yang meluas dan pegawai negeri yang sangat tidak efisien.
"Dia selalu menyarankan agar semuanya dapat diperbaiki dengan cara yang cepat dan mudah," kata Matthew Busch, seorang peneliti di Lowy Institute, sebuah kelompok pemikir Australia. "Tapi dia tidak menyentuh masalah yang sangat sulit."
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...