Sri Sultan Mantu: Kirab, Resepsi, dan Pamitan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Iring-iringan (kirab) kereta pengantin GKR Hayu dan KPH Notonegoro keluar dari Pelataran Keben (Keraton sebelah barat) untuk melakukan kirab sampai ke Kepatihan atau Kantor Gubernur DIY, pada Rabu ini (23/10) di Yogyakarta.
Terdapat 12 kereta kuda pada Kirab kali ini yang juga diikuti oleh total 480 orang bregada (pasukan prajurit) dan 68 ekor kuda. Rombongan Kirab dibagi menjadi dua kloter, rombongan pertama merupakan rombongan kereta pengantin, dan rombongan kedua merupakan rombongan kereta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Rombongan kereta pengantin berangkat sekitar pukul 09.00 pagi. Kereta Kanjeng Kyai Jongwiyat dinaiki pasangan pengantin GKR Hayu dan KPH Notonegoro. Tampak kedua mempelai mengenakan pakaian Jangan Menir berwarna hijau tosca, sedangkan kereta Kanjeng Kyai Jongwiyat dihiasi warna krem dan ditarik oleh empat kuda putih. Di depannya, kereta Kanjeng Kyai Notopuro dinaiki Rayi Dalem, yang di antaranya: GBPH Yudhaningrat, GBPH Cakraningrat SE, dan GBPH Condrodiningrat berada di barisan pertama rombongan kereta pengantin.
Di barisan ketiga, ada Kereta Kanjeng Kyai Rotobiru yang dinaiki oleh Ir GBPH Suryadiningrat sarimbit dan Dr GBPH Suryametaram sarimbit. Di belakangnya, turut mengikuti Kereta Kanjeng Kyai Rotongabeyan, yang merupakan kereta yang dikendarai oleh orang tua KPH Notonegoro. Sementara itu, di barisan terakhir tampak penari Bedhaya Manten mengikuti mengendarai kereta Kanjeng Kyai Premili dan juga Penari Beksan Lawung Ageng yang mengendarai kuda.
Sampainya iring-iringan kereta pengantin di perempatan o KM, rombongan kereta Sultan HB X mulai bersiap. Barisan didahului dengan Bregada Wirabraja yang menggunakan pakaian merah, diikuti Bregada Daeng, Bregada Ketanggang, kemudian Mantri Jeron.
Di belakang para Bregada tadi, Sultan Hamengku Buwono X menaiki kereta Kanjeng Kyai Wimono Putra bersama GKR Hemas dan GBPH H Prabukusumo SPsi. Kemudian lima kereta Kraton yang lain berturut-turut dinaiki oleh GKR Candra Kirono dan kerabat, GKR Maduretno dan KPH Purbodiningrat, GKR Bendara dan KPH Yudanegoro, KGPA Paku Alam IX, dan dua kereta terakhir dinaiki kerabat Kraton.
Di antara kereta yang dinaiki GKR Bendara dan KGPA Paku Alam IX terdapat Bregodo Lombok Abang Paku Alam. Di urutan terakhir, Bregada Plangkir yang menggunakan pakaian warna hitam berjalan dengan diiringi suara genderang dan seruling.
Jalan dari Kraton Yogyakarta sampai Kantor Gubernur DIY ditutup. Masyarakat membanjiri sisi kanan dan kiri jalan. Sesekali Sultan Hamengku Buwono X nampak melambai kepada kerumunan masyarakat yang antusias menyaksikan Kirab. 2000 orang relawan dan 2500 personil dari Polda DIY juga diterjunkan untuk menertibkan jalannya Kirab dengan membentuk pagar betis. Media juga diberikan tempat dengan dipasangnya beberapa panggung yang dijaga oleh kepolisian.
Rombongan kereta GKR Hayu dan KPH Notonegoro sampai di Bangsal Kepatihan tepatnya di Gedung Anti Wimono, sekitar pukul 9.30, dan langsung disambut oleh GBPH Hadiwinoto beserta istri dan GKR Pembayun beserta suami. Sedangkan, rombongan kereta Sultan tiba di Kepatihan berselang setengah jam kemudian, sekitar pukul 10.00. Rombongan kemudian menuju Gedhong Pacar Binatur lalu berganti baju dan beristirahat sejenak untuk kemudian melaksanakan acara Resepsi.
Resepsi
Resepsi atau pahargyan pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegoro berlangsung di Bangsal Kepatihan yang telah dihias dengan nuansa ungu, Rabu (23/11) pukul 10.30. Upacara puncak rangkaian acara pernikahan ini diawali dengan Kirab dari Kraton menuju Bangsal Kepatihan.
Kedua mempelai yang sebelumnya mengenakan busana Paes Ageng Jangan Menir bernuansa hijau tosca berganti menjadi nuansa hitam. Kedua mempelai keluar dari Gedhong Pacar Binatur diiringi dengan iringan gendhing Ladrang Manten. Kemudian, kedua mempelai duduk di pelaminan diapit oleh patah sakkembaran (anak-anak kecil pendamping pengantin).
Nampak Kolonel Kavaleri (Purn) Sigim Mahmud (ayah dari KPH Notonegoro) mengenakan beskap hitam, blangkon, kain wiron engkol, keris serta sindur, dan cenela. Raden Ayu Nusye Retnowati, selaku ibunda KPH Notonegoro tampak mengenakan kebaya tangkeban berwarna biru dengan bros dan peniti renteng, ukel tekuk, ubet-ubet angkin sindur, kain wiron, dan cenela.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas menyusul keluar dari Gedhong Pacar Binatur dengan aba-aba penghormatan dan diiringi gendhing Prabu Mataram. Sri Sultan Hamengku Buwono X mengenakan busana taqwa berikut destar, angkin sindur, nyamping wiron, serta selop bernuansa biru. Sultan duduk bersebelahan dengan GKR Hemas yang mengenakan kebaya tangkeban dengan warna senada busana Sultan, bros dan peniti renteng, ukel tekuk dihiasi bunga, nyamping seredan ubet-ubet, angkin sindur, serta selop.
Resepsi dibuka dengan doa oleh Raden Riyo H. Ngabdul Ridwan atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono X, kemudian dilanjutkan dengan penampilan tari-tarian. Ciri khas resepsi adat Kraton ini adalah ditampilkannya Tarian Bedhaya Manten dan Beksan Lawung Ageng.
Tarian Bedhaya Manten dibawakan oleh enam penari wanita. Tarian ini merupakan simbol perjalanan seseorang menuju rumah tangga. Dua orang penari berperan sebagai sepasang pengantin, sedangkan keempat penari lainnya memerankan diri sebagai penari Srimpi berbusana warna merah. Keenam penari tersebut didampingi empat pengamping berbusana janggan hitam. Tarian atau beksan Bedhaya Manten ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menunjukkan kesiapan dan kemandirian untuk membangun kehidupan.
Setelah Tarian Bedhaya Manten usai, para tamu undangan baik VIP maupun umum dipersilahkan memberikan ucapan selamat dan doa restu kepada kedua mempelai. Para tamu secara berurutan mengantri dari sisi sebelah barat Bangsal Kepatihan. Tampak beberapa tokoh masyarakat hadir sebagai tamu undangan dalam acara ini, seperti para anggota DPR, pejabat pemerintahan, dan lain-lain.
“Acara ini luar biasa. Tumplak punjen, mantu terakhir jadinya spesial karena kita tidak tahu kapan akan ada acara seperti ini lagi,” kata Dhidhik Nini Thowok, seniman tari yang tampak mengenakan beskap bernuansa ungu. “Mudah-mudahan berbahagia, keturunan banyak, sukses. Selamat nggih,” lanjut Dhidhik mendoakan kedua mempelai.
Doa dan harapan juga datang dari Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto, “Semoga kedua mempelai rukun dan berbahagia. Dengan kemampuan IT yang dimiliki Mbak Hayu, semoga bisa membawa kebudayaan Kraton seperti ini go international, menunjukkan bahwa itu budaya kita.”
Setelah Tarian Bedhaya Manten selesai, acara dilanjutkan dengan Beksan Lawung Ageng yang dibawakan oleh 12 orang penari pria. Sebelumnya kedua belas penari tersebut menaiki kuda dari Kraton menuju Kepatihan. Tarian ini merupakan karya Sri Sultan Hamengku Buwono I yang memiliki makna penyatuan lingga-yoni sebagai lambang kesuburan.
Selain itu tarian ini juga simbolisasi para prajurit Kraton yang sedang berlatih perang menunjukkan semangat patriotisme. Simbol tersebut ditunjukkan dalam gerakan tarian yang menyerupai orang berlatih ketangkasan di medan perang. Para penari membawa lawung atau tongkat panjang berujung tumpul sepanjang kurang lebih tiga meter. Tongkat tersebut digerakkan dengan cara menyilang dan menyodok.
Sementara para penari menarikan Beksan Lawung Ageng, sebanyak kurang lebih 2.500 tamu undangan yang hadir dengan tertib menunggu antrian untuk memberi ucapan selamat dan doa restu. Sebelum memberikan ucapan dan doa restu, para tamu dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Para tamu tampak antusias menyaksikan Beksan Lawung Ageng meskipun sembari berdiri di antrian untuk memberi ucapan selamat. Tamu yang sudah selesai memberi ucapan doa restu kepada pengantin dipersilakan untuk mengambil souvenir dan diperbolehkan untuk pulang.
Acara Resepsi selesai pukul 13.00 siang. Setelah itu para tamu undangan pulang, nampak kedua mempelai dan keluarga sejenak berfoto untuk mengabadikan momen indah ini. Rombongan mempelai beserta keluarga kemudian kembali menuju Kraton untuk melanjutkan rangkaian acara dengan upacara Pamitan pada malam harinya.
Pamitan
Setelah resepsi selesai, malam ini dilangsungkan Pamitan (perpisahan) yang juga berfungsi sebagai penutup dari proses seluruh upacara pernikahan. Pamitan ini diselenggarakan di Gedhong Jene dan dihadiri oleh keluarga pengantin perempuan dan pengantin pria.
Pasangan ini akan memulai ritual dengan keluar dari Bangsal Kasatriyan diikuti oleh kelompok pengantin dari penganthi (keluarga pendamping) serta pengantin pria. Sesampainya di Gedhong Jene, rombongan akan berhenti sejenak sampai pengantin baru diminta untuk memasuki gedung dan memulai Pamitan .
Dalam upacara tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan beberapa saran dan nasihat untuk para mempelai yang mungkin berguna bagi mereka dalam menjalani kehidupan berkeluarga. Kemudian, Sultan juga akan secara simbolis mempercayakan putrinya kepada orang tua mempelai pria selama acara ini.
Selanjutnya, keluarga pengantin pria mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada keluarga Kraton. Selain itu, mereka akan meminta pengampunan untuk setiap kesalahan mereka mungkin telah dibuat selama upacara.
Acara Pamitan berakhir dengan sungkeman (tradisi di mana orang-orang muda berlutut di depan para tua-tua dan mencium tangan mereka untuk meminta berkah), yang dilakukan oleh pengantin kepada orang tua mereka dan orang tua mertua. (kratonwedding)
Editor : Bayu Probo
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...