Stop Keberulangan, Negara Jangan Beri Ruang Kelompok Intoleran
Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Yayasan Satu Keadilan (YSK): “Agar kekerasan atas nama SARA yang merusak persatuan tidak terus berulang, penegak hukum harus serius menindak para pelaku intoleransi! Negara tidak boleh tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran!
BOGOR, SATUHARAPAN — Aksi penolakan Gereja Santa Clara di Bekasi pada 24 Maret 2017 yang berlangsung ricuh, terus menambah daftar kasus intoleransi di Jawa Barat dari tahun ke tahun.
Di Parungpanjang, Kabupaten Bogor, 3 (tiga) gereja sejak 7 Maret 2017 hingga kini dinyatakan status quo oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dengan alasan untuk menjaga kondusifitas setelah adanya desakan dari kelompok intoleran.
Pada 23 Maret 2017 Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Depok, disegel. Yayasan Satu Keadilan (YSK) sebagai organisasi yang terlibat dalam advokasi/ pembelaan hak atas Atas Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (KBB) mengecam dan menuntut negara aktif memberikan perlindungan dan jaminan kepastian melaksanakan hak.
Sugeng Teguh Santoso, S.H., Ketua Yayasan Satu Keadilan (YSK) mengatakan hak atas KBB dijamin oleh UUD 1945 dan oleh aturan-aturan hukum internasional sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights).
Oleh karena itu sejatinya hak tersebut tidak harus didasarkan pada alasan legal atau illegalnya pendirian rumah ibadah.
Apalagi terbukti dimana beberapa rumah ibadah yang telah memenuhi syarat administratif, masih mengalami penolakan, padahal sebagai negara hukum (rechtstaat), terdapat mekanisme hukum untuk menyatakan “ketidaksetujuan”, sebagai jalan beradab.
Ia menambahkan keberulangan konflik atas nama agama, salah satu disebabkan karena negara masih tunduk pada kehendak-kehendak kelompok intoleran.
Pemerintah baik di tingkat pusat, terutama di daerah sering menjadi aktor pelarangan dengan alasan keamanan dan ketertiban umum. Padahal disadari, tindakan demikian memecah belah persatuan sebagai sebuah bangsa yang saling menghargai dan menghormati perbedaan, melanggar hukum dan hak asasi manusia.
Kepala-kepala daerah, yang berdiri tegak menjamin pelaksanaan hak asasi warga negara untuk beribadah sebagai tanggungjawab konstitusional, tentu patut diapresiasi.
YSK berpandangan, menguatnya sikap intoleran masyarakat dan terbitnya kebijakan yang diskriminatif oleh pemerintah juga disebabkan sejauh ini fokus advokasi masih lebih banyak diarahkan pada kelompok masyarakat kelas menengah di perkotaan. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke bawah di wilayah menengah perkotaan seperti Bogor, Bekasi, Depok dan Tangerang kurang mendapat perhatian yang serius.
Kekosongan advokasi pada kelas dan wilayah menengah ke bawah ini justru cenderung dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok intoleran untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan sesama warga yang berbeda suku, agama, kelompok keyakinan dan kepercayaan.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...