Stop Kekerasan Pada Remaja
SATUHARAPAN.COM - Beranda informasi kita disuguhi oleh kekerasan, khususnya remaja yaitu penganiayaan yang dilakukan bersama dengan melibatkan beberapa sebagai pelaku ataupun korban remaja yang turut beperan. Kejadian miris itu mengoyak kemanusiaan kita. Bagaimana tidak, ketika remaja menggunakan kuasa berjaya dan kekerasan merajalela. Menimbulkan tanya dimana budaya peduli terhadap sesama? Dimana kelemah lembutan yang diagungkan menjadi budaya bangsa? Dimana budaya musyawarah dan dialog sebagai mekanisme penyelesaian masalah? Dan bagaimana pola pengasuhan orang tua terhadap anak-anaknya, khususnya para pelaku kekerasan. Memang kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja. Tak terkecuali oleh remaja atau Peer violence yang didefinisikan sebagai tindakan kekerasan fisik, emosional atau seksual yang dilakukan oleh teman sebaya di usia remaja (Wandera dkk., 2017). Kekerasan remaja dapat berkembang dengan cara yang berbeda. Beberapa remaja menunjukkan perilaku bermasalah pada anak usia dini yang secara bertahap meningkat menjadi bentuk agresi yang lebih parah sebelum dan selama masa remaja hingga dewasa. World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa kekerasan remaja berdampak seumur hidup pada fungsi psikologis dan sosial seseorang.
Pengasuhan Pemisif
Memang sesuai dengan namanya, kekerasan disebabkan dari faktor kepribadian individu itu sendiri sendiri dari tingkah laku agresifnya yang menyebabkan kekerasan. Karena pada dasarnya, seseorang berhadapan dengan konflik dan melakukan kekerasan didasari oleh kepribadian, karakter, dan juga kondisi orang itu sendiri. Namun jika dirunut penyebab kekerasan pada remaja, maka kita bisa menemukan bahwa salah satu penyebabnya adalah faktor pengasuhan. Lingkaran pengasuhan keluarga, ketika orang tua tidak mengambil peran aktif dalam kehidupan anaknya, remaja menjadi tidak terkendali sehingga berteman dengan orang yang salah. Sabda bijak mengatakan “Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik”. Lingkaran pertemanan dan pengaruh sosial media yang membombardir dengan berita-berita kekerasan tiap hari seolah menjadi referensi dan cara satu-satunya memecahkan masalah. Nalar tidak berfungsi dan hati nurani menjadi mati, karena dibakar emosi. Kekerasan dianggap menjadi solusi. Sangat ngeri.
Perlu disadari penuh bahwa masa remaja adalah tahap mencari identitas diri. Mereka bertanya siapa saya? Dan mencoba mencari dan menemukan pada teladan dan role model pada diri orang dewasa atau teman sebaya yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Maka, sangat berbahaya jika dalam fase perkembangan psikologis ini, remaja tidak dibimbing dan didampingi untuk mendapatkan role model yang baik, peer support yang mendukung. Absennya pengasuhan orang tua dengan pengasuhan yang permisif atau hanya memberi remaja fasilitas berlimpah ruah tanpa arahan moral dan pendampingan dan pemberian kasih sayang akan menyebabkan remaja menyimpang. Perilaku terdekat yang kita tonton terekspresi saat ini adalah pamer harta, dan berlaku sok kuasa, ataupun melalui tindakan menganiaya. Bagaimanapun juga tugas orang tua adalah mengasuh anak-anaknya, dalam proses tumbuh kembang dengan pemenuhan kebutuhan fisik, psikis dan spiritual. Orang tua juga menyekolahkan anak-anaknya pada sekolah-sekolah terbaik, namun juga harus disertai dengan membimbing ahklak, etika dan pertumbuhan spiritualitasnya supaya mengasihi Tuhan dan sesamanya. Sinkronisasi nilai-nilai ini harus dimulai dari keluarga dan teladan orang tua, pengasuhan pembimbing, guru dan dosen di sekolah dan universitas dimana remaja menimba ilmu. Demikian juga peran tokoh agama di rumah ibadah untuk mengasuh spiritualitas remaja sehingga mempunyai ketaatan beragama sekaligus kesalehan sosial yang sehat.
Berkonflik dengan Hukum dan Kesehatan Mental
Dalam konteks kekerasan, remaja bisa berperan sebagai korban, sebagai saksi dan sebagai pelaku. Secara keseluruhan remaja berusia dibawah 18 tahun masuk dalam ketegori anak dimana mereka sejatinya adalah korban yaitu situasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuatu. Dalam system peradilan anak, remaja yang berhadapan dan berkonflik dengan hukum akan dilakukan pendampingan. Selain itu remaja yang berkonflik dengan hukum harus tetap mempertanggung jawabkan atas perbuatannya dengan cara yang mendidik dan mempertimbangkan umurnya. Bahwa setiap tindakan memiliki konsekwensi logis, maka intervensi hukum kepada remaja juga mempertimbangkan usia dan area pengembangan dirinya.
Selain itu yang harus terus diperhatikan adalah perihal kesehatan mental remaja. Kita ketahui bersama bahwa pada usia remaja kecendurngan impulsive dan moody, karena perkembangan otak belum sepenuhnya berkembang sempurna, sehingga penalaran, kontrol dirinya belum sepenuhnya matang dan dewasa. Keterampilan remaja untuk melakukan coping mechanism harus terus diasah terutama ketika menghadapi tekanan dan konflik, serta menghadapi kehidupan yang sulit. Remaja juga perlu ditunjukkan kepada siapa mereka membutuhkan bantuan dan system rujukan ketika mereka tidak mampu mengatasi dan mengendalikan emosi mereka, baik kepada psikolog, psikiater, pekerja sosial, perawat kesehatan jiwa ataupun pemimpin agama dan konselor untuk merawat kesehatan jiwa mereka. Semua intervensi tersebut perlu dilakukan sambil terus mengembangkan budaya damai dan penguatan kohesi sosial di tengah masyarakat. Remaja perlu dilibatkan dalam semua proses intervensi secara partisipatoris. Dengan demikian kita bisa menyatakan dengan harapan stop kekerasan, sekarang juga. Apapun alasannya dan dalihnya. Semoga.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...