Studi: Tingkat Kesuburan Global Diprediksi Akan Terus Menurun
Ledakan bayi terjadi (baby boom) di negara berkembang, sebaliknya penurunan (baby bust) terjadi di negara kaya.
SATUHARAPAN.COM-Populasi di hampir setiap negara akan menyusut pada akhir abad ini, sebuah penelitian besar mengatakan pada hari Rabu (20/3), memperingatkan bahwa ledakan bayi di negara-negara berkembang dan penurunan jumlah bayi di negara-negara kaya akan mendorong perubahan sosial secara besar-besaran.
Tingkat kesuburan di separuh negara sudah terlalu rendah untuk mempertahankan jumlah penduduknya, demikian laporan tim internasional yang terdiri dari ratusan peneliti di The Lancet.
Dengan menggunakan sejumlah besar data global mengenai kelahiran, kematian, dan faktor-faktor yang mendorong kesuburan, para peneliti mencoba memperkirakan masa depan populasi dunia.
Pada tahun 2050, populasi tiga perempat negara akan menyusut, menurut studi yang dilakukan oleh Institute For Health Metrics and Evaluation (IHME) yang berbasis di Amerika Serikat.
Pada akhir abad ini, hal tersebut akan terjadi pada 97 persen – atau 198 dari 204 negara dan wilayah, para peneliti memproyeksikan.
Hanya Samoa, Somalia, Tonga, Niger, Chad dan Tajikistan yang diperkirakan memiliki tingkat kesuburan melebihi tingkat penggantian 2,1 kelahiran per perempuan pada tahun 2100, perkiraan studi tersebut.
Selama abad ini, tingkat kesuburan akan terus meningkat di negara-negara berkembang, khususnya di Afrika Sub-Sahara, bahkan ketika angka tersebut menurun di negara-negara yang lebih kaya dan menua.
“Dunia akan secara bersamaan menghadapi ‘baby boom’ di beberapa negara dan ‘baby bust’ di negara lain,” kata penulis studi senior, Stein Emil Vollset, dari IHME dalam sebuah pernyataan.
Implikasinya Sangat Besar
“Kita menghadapi perubahan sosial yang mengejutkan sepanjang abad ke-21,” katanya dalam sebuah pernyataan. Peneliti IHME Natalia Bhattacharjee mengatakan “implikasinya sangat besar.”
“Tren tingkat kesuburan dan kelahiran hidup di masa depan ini akan sepenuhnya mengubah perekonomian global dan keseimbangan kekuatan internasional serta memerlukan reorganisasi masyarakat,” katanya.
“Ketika populasi hampir di setiap negara menyusut, ketergantungan pada imigrasi terbuka akan menjadi penting untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.”
Namun, para ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak kehati-hatian terhadap proyeksi tersebut.
Mereka menunjukkan beberapa keterbatasan model ini, khususnya kurangnya data di banyak negara berkembang.
Komunikasi mengenai angka-angka tersebut “tidak boleh bersifat sensasional, namun bernuansa, menyeimbangkan antara kesuraman dan optimisme,” tulis para ahli WHO di The Lancet.
Mereka juga menunjukkan bahwa ada manfaat dari memiliki populasi yang lebih kecil, seperti bagi lingkungan dan ketahanan pangan. Namun terdapat kerugian dalam hal pasokan tenaga kerja, jaminan sosial, dan “geopolitik nasionalis.”
Teresa Castro Martin, peneliti di Dewan Riset Nasional Spanyol yang tidak terlibat dalam penelitian ini, juga menekankan bahwa ini hanyalah proyeksi.
Dia menunjukkan bahwa studi Lancet memperkirakan tingkat kesuburan global akan turun di bawah tingkat penggantian pada tahun 2030, “sedangkan PBB memperkirakan hal ini akan terjadi sekitar tahun 2050.”
Studi ini merupakan pembaruan dari studi Global Burden of Disease yang dilakukan IHME. Organisasi yang didirikan di Universitas Washington oleh Bill and Melinda Gates Foundation ini telah menjadi rujukan global untuk statistik kesehatan. (AFP)
Editor : Sabar Subekti
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...