Suaka Gajah Myanmar Terancam COVID-19
SHAN, SATUHARAPAN.COM - Wabah virus corona menimbulkan tekanan finansial di sebuah suaka alam yang didedikasikan untuk gajah-gajah pensiunan di Myanmar.
Suaka tersebut sebelumnya sangat mengandalkan pemasukan dari tiket masuk pengunjung untuk mendanai progam-programnya. Namun sejak sektor pariwisata ambruk, suaka itu mengalami kekurangan dana.
Suaka Alam Lembah Bukit Hijau sudah sejak 2011 menjadi tempat peristirahatan bagi gajah-gajah yang sudah tua, yang sudah tidak lagi dianggap mampu bekerja.
Terletak di sebuah hutan lebat di negara bagian Shan, suaka itu merupakan satu-satunya suaka yang tidak dimiliki pemerintah, melainkan para penyayang gajah.
Dokter hewan Ba Kyaw merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan hewan raksasa yang telah beberapa generasi dimanfaatkan sebagai tenaga pengangkut di industri kayu di kawasan itu.
"Kakek dan nenek kami punya gajah. Ada enam. Gajah-gajah ini mendukung sistem pendidikan di wilayah kami karena bekerja mengangkut kayu-kayu dari hutan. Kayu-kayu itu diolah sedemikian rupa menjadi kertas dan perangkat tulis menulis lainnya. Kini gajah-gajah itu sudah tidak lagi bekerja, dan kita bertanggung jawab memeliharanya,” ungkapnya.
Myanmar adalah negara dengan populasi gajah tangkapan terbesar di dunia. Telah ratusan tahun, gajah-gajah dimanfaatkan sebagai kuli angkut kayu dari kedalaman hutan yang tidak terjangkau mesin. Namun, seiring munculnya larangan penebangan kayu di hutan-hutan alami, tidak banyak pekerjaan tersedia bagi hewan-hewan raksasa itu sehingga menimbulkan beban finansial bagi para pemiliknya.
Pendiri bersama Suaka Lembah Bukit Hijau Tin Win Maw mengatakan, melepaskan gajah-gajah itu kembali ke hutan bukanlah pilihan. “Sewaktu mereka sudah tidak lagi dianggap layak bekerja, kita tidak bisa begitu saja memulangkan mereka ke hutan. Karena, kalau mereka ke hutan, siapa yang menjamin keselamatan mereka? Perburuan gajah terjadi di mana-mana. Tidak hanya di Afrika tapi juga Asia,” ujarnya.
Suaka itu meminjam gajah-gajah untuk dirawat di sana dari perusahaan kayu Myanmar Timber Enterprise dan sejumlah warga setempat. Intinya, gaja-gajah itu mendapat perawatan yang diperlukan sementara para pemilik mereka mendapat pemasukan.
Namun, sejak wabah virus corona merebak, dan berbagai pembatasan diberlakukan, suaka itu sepi pengunjung. Tidak ada satupun wisatawan asing yang datang, sementara wisatawan domestik pun setiap harinya bisa dihitung dengan jari tangan. Walhasil, pengelola suaka itu kewalahan menanggulangi beban sehari-hari.
Seekor gajah dewasa mengkonsumsi makanan sekitar 150 kilogram setiap harinya, atau setara dengan 6-12 persen berat tubuh mereka. Tanpa kunjungan turis, sulit memenuhi kebutuhan tersebut.
Selama ini, suaka tersebut menggelar sejumlah strategi untuk mengatasinya, termasuk menanam sendiri pohon buah yang menjadi kebutuhan utama gajah. Namun, dengan tujuh gajah dewasa di suaka itu, para pengurus masaih kewalahan menanggulangi kebutuhan hewan-hewan itu. Jika, kondisi ini berlanjut, bukan tak mungkin suaka ini terpaksa tutup dan gajah-gajah itu akan terlantar. (VOA)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...