Suara Merdu Mesti Disuarakan
”Sonare inani voce. Bicara dengan suara kosong”.
SATUHARAPAN.COM - Dalam sebuah kehidupan modern, peranan ”suara” sangat penting. ”Suara”, dalam arti ’perkataan’, ’pendapat’, ’gagasan’, juga ”suara” dalam konteks pemilihan pimpinan dalam berbagai level, dan ”suara” dalam pengertian standar, semuanya memiliki makna yang penting.
Dalam suatu acara penggalangan dana, panitia mengundang penyanyi top. Suara merdu sang penyanyi akan dilelang dan para tamu yang berkantung tebal akan ”membeli” suara itu.
Andaikata pada saat yang sudah ditentukan sang penyanyi tak bisa datang karena ada masalah dengan ”suara”-nya maka upaya panitia menggalang dana bisa gagal. Padahal, karakter suara penyanyi itu amat khas, lembut melankolis, tak bisa dicari penggantinya.
Kita maklum bahwa karakter suara penyanyi amat spesifik. Dengan karakter seperti itu sang penyanyi cocok untuk membawakan lagu dari genre musik tertentu.
Karakter suara dalam konteks menyanyi sangat penting. Karakter suara seorang Broery Pesolima, John Tanamal, misalnya taksama dengan Chrisye atau Judika.
Orang yang menyanyikan sebuah lagu harus paham bagaimana karakter suaranya. Berdasarkan hal itu ia bisa memilih lagu yang pas.
Orang yang bersuara serak-serak basah tidak bisa menyanyikan sebuah lagu berirama keroncong dengan sempurna di suatu pentas musik, kecuali di kamar mandi. Itulah sebabnya, pada saat kita memasuki grup paduan suara, suara kita dites terlebih dahulu, apakah karakter suara kita lebih cocok untuk sopran, alto, tenor, atau bas. Dengan demikian, pada waktu kita berpaduan suara (koor), kita ditempatkan sesuai dengan karakter suara kita masing-masing.
Penting bagi kita untuk memahami notasi sebuah lagu secara standar. Di Sekolah Rakyat, lebih dari setengah abad yang lalu, para peserta didik dalam mata pelajaran menyanyi diajarkan lagu baru, dimulai dengan mempelajari not (angka). Seorang murid harus bisa membaca not angka sesuai dengan tangga nadanya dan tidak mengeluarkan suara yang sumbang (fals). Dengan demikian, sebuah lagu dipelajari dengan membaca notasinya.
Dalam beberapa kesempatan upacara bendera terkadang kita masih mendengar suara yang fals dalam menyanyikan lagu.
Seorang mahasiswa di sekolah teologi biasanya mendapat mata kuliah musik gereja. Di situ dipelajari notasi lagu, bahkan not balok, sehingga jika nanti mereka menjadi pemimpin umat, mereka akan mampu mengajari umat bernyanyi dalam ibadah.
Suara yang bagus, merdu (dan tidak fals) amat penting dalam melantunkan pujian kepada Tuhan.
Pernah terjadi lebih kurang 30 tahun yangBlalu di sebuah Gereja di Jawa Barat dalam ibadah hari Minggu seorang pimpinan umat, yang notabene jebolan sekolah teologi, tidak paham notasi lagu. Ia mengambil nada tidak pas. Padahal, ia berada dalam posisi memimpin. Akhirnya, ibadah tidak lagi berlangsung khusyuk.
Hidup modern kadang terasa kering dan membuat penat. Sebab itu, musik, sastra, dan bentuk-bentuk karya seni yang lain makin perlu mewarnai kehidupan kita. Beberapa tahun yang lalu, ada grup musik bernama Lingga Binangkit dari Bandung yang biasa membawakan lagu-lagu bernuansa Islami. Lagu-lagunya amat bagus karena ditata dalam format empat suara.
Demikian juga grup Bimbo. Paduan Suara Unpar Bandung, Paduan Suara Anak Indonesia, misalnya, sudah terkenal di mancanegara karena juga menampilkan suara yang sangat bagus Suara-suara dalam konteks pemilihan pimpinan juga sangat penting, baik pada aras lokal, regional, maupun nasional. Suara-suara dalam hubungan dengan Pilkada itu amat kental aroma politiknya, yang kadang-kadang tidak lagi senapas dengan ketentuan perundangan dan bahkan menafikan nilai-nilai luhur ajaran agama. Aspek politik yang sarat dengan kekuasaan lebih mengedepan dalam konteks ini dan bukan politik dalam konteks ”bagaimana mengelola sebuah ’polis’ dengan baik”.
Sebagai umat beragama, kita berharap agar warga bangsa kita tetap memiliki daya tahan keberagamaan yang tangguh, yang mengamalkan agama secara kafah dan profesional dalam menjalankan peran sebagai anggota partai politik. Dalam konteks menjalankan aktivitas politik yang profesional kita berharap agar agama tidak boleh dikerdilkan dan/atau direduksi menjadi kendaraan, vehicle, instrumen politik (praktis).
Pemikiran jernih tentang peran dan posisi agama dalam sebuah NKRI yang majemuk yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 harus selalu kita suarakan. Pikiran tentang harmoni, tali silaturahmi, saling menolong, bahasa dan ”wording”, diksi, terminologiByang respek terhadap kemajemukan, mesti selalu diperdengarkan.
Suara-suara tentang persatuan bangsa, pengalaman empirik kelompok masyarakat dalam menumbuhkan toleransi, harus dibagikan kepada khalayak. Anggota parlemen, pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat, para akademisi, semuanya mesti mengembangkan pikiran positif demi sebuah NKRI yang lebih baik. Kita harus lebih sering menggunakan kosakata "saling”, ”kita”, dan ”kami” dalam berinteraksi.
Mari ungkapkan suara-suara penuh persaudaraan; bukan ancaman, ujaran kebencian, dan/atau penghinaan. Ungkapkan kata dan suara memotivasi, bukan arogansi kelompok/golongan.
Pepatah kita mengingatkan agar kita jangan bicara dengan suara kosong: ”Bubarkan ini-itu!”, ”hentikan ini-itu!”, yang bisa dimaknai naif dan emosional. Mari bersuara yang cantik dan elegan sesuai dengan fitrah kita sebagai umat beragama.
Suarakan suara-suara cerdas bernas yang visioner dan memberi pengharapan masa depan ditengah umat manusia yang gagap disergap Omicron dan denominasinya.
Perlu kita suarakan dengan lebih keras dan lantang bahwa NKRI yang majemuk bisa awet, eksis dan bertahan jika Pancasila dan UUD NRI 1945 dilaksanakan konsisten dan telaten. Tanpa itu NKRI bisa binasa dimamah ideologi asing beraroma agama. Semoga Tuhan YME melindungi bangsa dan negara RI.
Selamat Berjuang. God Bless!
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...