Suatu Pagi di Pasar Godean
Laki-laki lebih berorientasi pada hasil dan keuntungan. Perempuan, selain berorientasi pada hasil dan keuntungan, mendapatkan kepuasan batin bisa menjadi ”tuan”, ”ratu”, ”penguasa” atas dirinya yang mungkin dalam ranah lain dia "dikuasai” laki-laki.
SATUHARAPAN.COM – ”Ndhuk, Cah Ayu... mampir. Mbok ditumbasi ’belanja di sini’,” sapa seorang perempuan tua. Istriku berhenti, lalu membeli bawang merah di situ.
Bawang merah sebenarnya masih ada di rumah. Namun, sapaan ramah perempuan itu membuatnya mampir. Tak banyak yang di beli. Hanya setengah kilo, Rp8.000,-. Lalu mengalirlah cerita seakan-akan perempuan itu sudah begitu akrab dengan kami. Tentang anak-anaknya, cucunya, usaha dagangnya.
Dia berkisah telah berjualan di situ sejak Pasar Godean itu belum dibangun. Usianya sudah 90 tahun lebih. Masih sehat dan semangat. Sekalipun kadang untuk melihat berapa nilai selembar uang kertas yang di tangannya dia harus mendekatkan sedemikian rupa dengan matanya.
Andai ada pembeli yang mengakukan uang pecahan 10 ribu sebagai 100 ribu, ia bisa tertipu. Saat ditanya apa pernah ada yang menipu, dia bilang tidak. Dia percaya pada orang lain. Andai ada yang menipu, dia juga telah mengiklaskannya.
Dia berangkat dan pulang ke pasar diantar-jemput oleh salah seorang anaknya. Tetapi, dia tinggal sendirian karena anak-anaknya sudah mentas semua. Seharian di pasar dia tidak jajan atau membawa bekal makanan. Dia hanya mengandalkan sarapan pagi dan makan sore di rumah. Katanya, orang setua dia sudah tidak mudah lapar. Beda dengan para pedagang perempuan yang masih muda. Rata-rata berdandan cantik, selalu ngemil atau makan, sehingga badannya subur-subur.
Dia lalu bertanya-tanya tentang kami. Dan menebak bahwa kami masih baru di Godean. Dan memang benar, kami baru tiga tahun di Yogyakarta. Mbah Moyo namanya. Dia akan berhenti berjualan jika memang sudah tidak bisa berjalan lagi. Di mata saya dia sosok perempuan mandiri.
Jadi ingat novel Canting karya Arwendo Atmowiloto. Dalam budaya patriarkat, di mana laki-laki adalah yang di depan—sering merepresentasikan keluarga atau kelompok, sering mendapat posisi mayor—maka perempuan sering menjadi bayang-bayang, bahkan subordinasi laki-laki.
Namun, naluri alamiahnya sebagai manusia yang memerlukan aktualisasi diri untuk memiliki kapasitas, diakui, bahkan memiliki ”kekuasaan”, maka pasar adalah salah satu tempat yang dapat menjawab kebutuhan batin perempuan. Terlebih dalam konteks zaman dahulu di mana ruang-ruang publik selalu dikuasai laki-laki.
Memang ada yang beda antara laki-laki dan perempuan ketika berdagang di pasar. Laki-laki lebih berorientasi pada hasil dan keuntungan. Perempuan, selain berorientasi pada hasil dan keuntungan, mendapatkan kepuasan batin bisa menjadi ”tuan”, ”ratu”, ”penguasa” atas dirinya yang mungkin dalam ranah lain dia "dikuasai” laki-laki.
Itulah pengalaman batin yang didapat dari suatu pagi di Pasar Godean.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...