Sudan: Dua Pemimpin Bertemu untuk Perdamaian
SATUHARAPAN.COM – Pemimpin pemberontak Sudan Selatan, Riek Machar, tiba di Juba, Senin (9/9) untuk pembicaraan damai dengan Presiden Salva Kiir. Ini pertemuan pertamaka dalam setahun dalam usaha menyelamatkan perjanjian damai yang buntuk di negara itu.
Machar mendarat di ibu kota Sudan itu dengan membawa delegasi besar sekitar 60 orang dan petugas keamanan dari Khartoum di mana dia tinggal di pengasingan, seorang wartawan AFP, seperti dikutip situs berita Al Ahram.
Machar diperkirakan akan tinggal dua hari terkait tenggat waktu hingga November untuk membentuk pemerintah dengan pembagian kekuasaan, seperti disepakati dalam perjanjian perdamaian 2018.
"Pertemuan kami fokus pada pengaturan keamanan, karena itu adalah salah satu ketentuan mendasar dari perjanjian ini," wakil Machar, Henry Odwar. "Kami menghadapi tantangan dan berdoa agar kami mengatasi tantangan itu."
Kiir dan Machar tidak bertemu, setelah pertemuan di Vatikan pada bulan April, ketika Paus Fransiskus mengejutkan dunia dengan mencium kaki dua orang itu yang dituduh bertanggung jawab atas kejahatan perang yang kejam.
Sudan Selatan terjerumus dalam perang saudara pada 2013, hanya dua tahun setelah negara itu memperoleh kemerdekaan. Ketika itu, Kiir menuduh mantan wakilnya dan mantan pemimpin pemberontak Machar merencanakan kudeta.
Berbagai upaya perdamaian gagal, tetapi pada September 2018 pihak-pihak yang bertikai menandatangani perjanjian untuk membentuk pemerintah persatuan, yang akan membuat Machar kembali ke pemerintah sebagai wakil presiden.
Terakhir kali Machar berada di Juba adalah Oktober 2018, untuk merayakan peristiwa yang menandai penandatanganan pakta perdamaian.
Pengaturan pembagian kekuasaan di bawah perjanjian damai seharusnya mulai berlaku pada bulan Mei. Namun proses itu tertunda enam bulan hingga November.
Langkah-langkah teknis penting yang terkandung dalam perjanjian, seperti membentuk pasukan persatuan dan menyepakati batas-batas internal negara, telah gagal. Diperkirakan
Sudan akan menghadapi krisis besar jika kesepakatan damai ini tidak terwujud. Setelah pertemuan luar biasa mereka di Vatikan, Kiir mengatakan kepada parlemen bahwa dia telah memaafkan Machar, dan mendesak saingannya itu untuk pulang. Tetapi Machar mengkhawatirkan keamanan pribadinya jika dia kembali ke ibukota.
Dia melarikan diri dengan berjalan kaki di bawah hujan tembakan ketika kesepakatan damai sebelumnya gagal pada Juli 2016. Dia saat ini tinggal di Khartoum, ibukota tetangganya, Sudan, dan negara tempat Sudan Selatan memisahkan diri untuk mengklaim kemerdekaan pada 2011.
Machar didampingi komandan paramiliter Sudan, Mohamed Hamdan Daglo, yang paling dikenal dengan julukannya "Hemeti", dan yang mengadakan pembicaraan damai terpisah dengan kelompok-kelompok bersenjata Sudan.
Sudan terlibat dalam transisi berdarahnya di Sudan Selatan sejak penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada bulan April. Kiir mendesak kelompok-kelompok Sudan itu untuk bernegosiasi dan membawa perdamaian.
"Saya percaya bahwa kita adalah satu, dan menghadapi masalah yang sama. Jika tidak ada perdamaian di Sudan, tidak akan ada perdamaian di Sudan Selatan," kata Kiir. Pertempuran di Sudan Selatan telah menewaskan sekitar 380.000 orang dan memaksa lebih dari empat juta warga Sudan Selatan (hampir sepertiga dari populasi) mengungsi dari rumah mereka.
Editor : Sabar Subekti
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...