Sudan: Warga Gelar Protes Menuntut Pemerintahan Sipil
KHARTOUM, SATUHARAPAN.Com-Sudan jatuh lebih dalam dengan kekacauan pada hari Selasa (4/1) ketika pengunjuk rasa turun ke jalan lagi untuk menuntut diakhirinya kudeta militer dan pembentukan pemerintahan sipil.
Sedikitnya 60 orang tewas dalam tindakan keras aparat keamanan terhadap demonstrasi yang dimulai setelah kudeta 25 Oktober, dan meningkat pekan ini setelah pengunduran diri Abdalla Hamdok sebagai perdana menteri.
Ribuan pengunjuk rasa mengambil bagian dalam pawai pada hari Selasa di kota Khartoum dan kota kembarnya Omdurman. Para demonstran muda bernyanyi, menabuh genderang, mengibarkan bendera Sudan dan membakar ban.
Mereka berteriak “Tidak, tidak untuk aturan militer” dan menyerukan pembubaran dewan penguasa Sudan yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al-Burhan, yang memimpin kudeta.
Akses internet seluler diblokir di negara itu, dan jalan-jalan menuju istana presiden dan markas tentara ditutup oleh pasukan, polisi anti huru-hara, dan unit paramiliter, yang menembakkan granat gas air mata ke arah para pengunjuk rasa.
Burhan memecat Hamdok dan pemerintahnya dalam kudeta bulan Oktober, membongkar pengaturan pembagian kekuasaan antara militer dan warga sipil yang telah dibentuk setelah penggulingan otokrat lama Omar Al-Bashir pada April 2019.
Panglima militer mengembalikan jabatan Hamdok pada 21 November, kesepakatan yang diterima perdana menteri sebagian pada janji untuk pemilihan umum pada pertengahan 2023, tetapi gerakan protes mengecam kesepakatan itu sebagai "pengkhianatan" dan terus menggelar aksi unjuk rasa.
Hamdok kemudian mengundurkan diri pada hari Minggu )2/1) enam pekan setelah ia diangkat kembali oleh Burhan. Dia mengatakan negara itu berada di “persimpangan jalan berbahaya yang mengancam kelangsungan hidupnya.”
“Tiga syarat kami saat ini setelah kudeta adalah: Tidak ada negosiasi, tidak ada pembagian kekuasaan dan tidak ada kompromi, selain tuntutan utama revolusi, yaitu kebebasan, perdamaian dan keadilan. Itu saja, kami tidak punya tuntutan lain," kata pengunjuk rasa, Waddah Hussein.
Partai Umma yang terbesar di Sudan mendesak militer untuk melepaskan kepemimpinan dewan kedaulatan. "Ini adalah satu-satunya cara untuk keselamatan bangsa, keutuhan masa transisi dan penyelesaian tugas-tugasnya dalam kerangka waktu yang disepakati," kata partai tersebut.
Pada hari Selasa, AS, Uni Eropa, Inggris dan Norwegia memperingatkan militer agar tidak menunjuk pengganti Hamdok oleh mereka sendiri. Dan dikatakan bahwa mereka "tidak akan mendukung perdana menteri atau pemerintah yang ditunjuk tanpa keterlibatan berbagai pemangku kepentingan sipil."
Empat kekuatan Barat mengatakan bahwa mereka masih percaya pada transisi demokrasi di Sudan, tetapi mengeluarkan peringatan terselubung kepada militer jika tidak bergerak maju. “Dengan tidak adanya kemajuan, kami akan berupaya mempercepat upaya untuk meminta pertanggungjawaban aktor-aktor yang menghambat proses demokrasi,” bunyi pernyataan itu.
Sekjen PBB Antonio Guterres “menyesalkan bahwa pemahaman politik dalam perjalanan ke depan tidak ada meskipun situasi gawat di Sudan,” kata juru bicara PBB ,Stephane Dujarric, hari Senin.
Pada hari Selasa, Burhan bertemu dengan Kuasa Usaha AS, Brian Shukan, menekankan perlunya "melanjutkan dialog antara semua pihak untuk menghasilkan program konsensus nasional," menurut sebuah pernyataan oleh kantor Burhan.
Kantornya juga mengatakan dia telah bertemu dengan perwakilan khusus PBB Volker Perthes mengenai “situasi politik saat ini” dan membahas “mempercepat penunjukan perdana menteri baru.” (AP/Reuters/Arab News)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...