Suku Amungme-Komoro Tolak Kesepakatan Pemerintah-Freeport
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kalangan akar rumput suku besar Amungme dan Komoro di Papua yang tergabung dalam Masyarakat Adat Independen (MAI) menyatakan tidak mengakui kesepakatan Pemerintah dan Freeport yang baru-baru ini diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignatius Jonan.
Kalangan akar rumput suku besar Amungme dan Komoro mengatakan sampai saat ini suku Amungme dan Komoro tidak dilibatkan dalam perundingan tentang masa depan Freeport padahal mereka merupakan pemilik hak ulayat atas tanah tempat dimana operasi Freeport McMoran berada.
Oleh karena itu, MAI menuntut agar Freeport ditutup, dan hasil kekayaan Freeport diaudit. Selanjutnya, Freeport wajib membayar upah dan pesangon pekerja akibat Freeport ditutup.
Selanjutnya, MAI meminta Freeport dan pemerintah bertanggung jawab mengembalikan segala kerugian alam yang sudah dirusak.
Terakhir, MAI meminta agar masyarakat adat Papua diberi kesempatan menentukan masa depan pertambangan di tanah mereka.
Pernyataan ini disampaikan oleh perwakilan MAI dalam konferensi pers di kantor LBH Jakarta, hari ini (02/04).
Empat Tuntutan Masyarakat Adat Independen
|
Mereka yang memberikan pernyataan adalah Ronny Nakinaya, sekretaris MAI dan merupakan perwakilan dari Suku Kamoro. Ia bersama Nicolaus Kanuggok, perwakilan dari suku Kamoro dan Amungme dan merupakan koordinator pemuda MAI serta Adolfina Kuum, tokoh perempuan suku Amungme.
"Kami muncul ketika kami melihat lembaga adat yang dipercaya masyarakat tidak lagi membawa aspirasi masyarakat yang sebenarnya," kata Ronny.
"MAI datang dari masyarakat akar rumput dari dua suku, Amungme dan Komoro bersama dengan partisipasi teman-teman dari luar, di luar dua suku ini," kata dia.
Dalam pernyataan resminya, MAI menyatakan situasi konflik antara pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia saat ini berdampak besar pada dunia, Indonesia, Papua dan khususnya kabupaten Mimika.
Konflik tersebut memicu banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit nasional mau pun elit Papua sendiri.
"Mereka tidak berbicara persoalan yang terjadi dan yang dirasakan oleh masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport di Timika," bunyi pernyataan MAI.
Lebih jauh, MAI mengatakan semenjak masuknya PT Freeport di Timika yang mendapat legalitas melalui UU Penanaman Modal Asing pertama tahun 1967, pemerintah tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat dan dua suku besar Amungme dan Komoro.
"Ketika kesadaran masyarakat adat muncul dengan melakukan aksi masyarakat pada tahun 1996 di TImika yang mengorbankan nyawa manusia dan materi, barulah PT Freeport mengeluarkan program CSR yang disebut Dana 1 persen. Namun dana itu diberikan tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat pemilik ulayat melainkan membuat konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dan elit," demikian pernyataan MAI.
Kamis lalu dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengatakan PT Freeport Indonesia setuju akan melakukan penawaran saham (divestasi) 51 persen kepada pemerintah.
Ia juga mengatakan Freeport telah menyetujui mengubah perjanjian antara RI dan Freeport dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sebelumnya, Menko Kemaritiman, Luhut Pandjaitan, mengatakan dalam perjanjian dengan Freeport, Pemda dan masyarakat Papua akan mendapat 5 persen saham hasil divestasi, dalam bentuk dividen.
MAI menolak kesepakatan itu karena menganggap ia tidak dibicarakan dengan melibatkan rakyat Papua.
"Yang kami lihat selama ini belum melibatkan rakyat Amungme. Baru kompromi pemerintah lokal dengan pemerintah, tetapi tidak melibatkan akar rumput di bawah. Ini yang menyebabkan akar rumput bergerak di bawah," kata dia.
Oleh karena itu pula, mereka mendesak agar operasi PT Freeport dihentikan. Selanjutnya kekayaan Freeport diaudit untuk mengetahui seberapa besar hasil dari pertambangan tersebut dan selanjutnya menentukan kewajiban Freeport.
Tahap selanjutnya, menurut MAI, adalah perundingan tripartit antara Pemerintah RI, Freeport dan masyarakat adat Papua.
"Harapan kami dari masyarakat akar rumput, ketika ada proses tripartit itu, kami dilibatkan dalam membuat aturan hukum. Tidak seperti di masa lalu yang pahit, ketika merumuskan Kontrak Karya, kami sama sekali tidak dilibatkan," kata Nicolaus Kanuggok.
Sementara itu Adolfina Kuum mengatakan sudah saatnya pemerintah berhenti untuk melakukan pembangunan yang bersifat formalitas tanpa terjun ke bawah mendapatkan kenyataan di akar rumput.
Ia juga mengeritik dana CSR Freeport yang selama ini menurut dia tidak dinikmati oleh masyarakat bawah. "Itu yang dikirim ke luar negeri untuk sekolah, kita tidak tahu anak siapa," kata Adolfina.
"Pembangunan itu dinikmati siapa. Pemerintah harus lihat, apakah cuma laporan saja. Jangan hanya percaya pada laporan-laporan di atas kertas," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...