Sultan Tidak Berniat Jadikan Putrinya Putri Mahkota
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Bawono X mengatakan penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi tidak dilandasi niat ingin menjadikan putri pertamanya itu menjadi putri mahkota.
"Pokoknya saya menetapkan GKR Pembayun menjadi Mangkubumi sesuai `dawuh` (perintah). Lelakunya seperti apa, ya saya tidak mengerti. Saya cuma `didawuhi` atau diperintah menetapkan, ya saya tetapkan," kata Sultan HB X saat berdialog dengan masyarakat mengenai sabda raja dan dawuh raja di Yogyakarta, Jumat (8/4).
Pada dialog yang berlangsung di Dalem Wironegaran, kediaman GKR Mangkubumi itu, Sultan juga mengatakan tentang klasifikasi terkait pemberian gelar. "Klasifikasi pemberian gelar seperti apa, ya saya tidak berani, nanti saya salah, karena memang tidak ada klasifikasi," tandasnya.
Sebelumnya, pada Selasa (5/5) lalu Sultan HB X mengeluarkan "dawuh raja" yang berisi penggantian nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun (putri pertama Sultan) menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.
Hal itu kemudian memunculkan polemik di kalangan adik-adik Sultan yang menduga sebagai upaya menjadikan putrinya sebagai penerus tahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
"Nanti kita tunggu saja. Saya tidak mau melangkah sendiri. Kalau melangkah lebih dari itu berarti itu kepentingan saya. (padahal) saya hanya menjalankan `dawuh` (perintah) dari Gusti Allah melalui leluhur," kata Sultan.
Kendati demikian, Sultan menjelaskan bahwa prosesi pemberian gelar baru kapada GKR Pembayun dilakukan dengan meminta putri pertamanya itu duduk di atas "watu" atau Batu Gilang.
Sementara, Watu Gilang merupakan batu singgasana Panembahan Senopati, dimana raja-raja Keraton Yogyakarta sebelum bertakhta harus melalui prosesi duduk di atas batu tersebut.
"Prosesnya GKR Pembayun berjejer dengan adik-adik dan saudara-saudara lain. Saya minta maju, dan saya tetapkan (pemberian gelar baru). Dengan menetapkan itu, dia berhak duduk di Watu Gilang," kata Sultan.
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X sekaligus menjelaskan pergantian gelar yang disandangnya yang sebelumnya tercakup dalam isi sabda raja yang dikeluarkan pada 30 April 2015.
Sultan mengatakan, sejak sabda raja tersebut dikeluarkan, gelar yang disandangnya berubah menjadi "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo".
Gelar itu mengubah gelar sebelumnya yakni "Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat".
Menurut Sultan, pergantian nama itu merupakan "dawuh" atau perintah dari Allah Swt melalui leluluhurnya. Dengan demikian tidak bisa dibantah, dan hanya bisa menjalankan saja.
"Dawuh itu mendadak. Kewenangan Gusti Allah dan tidak diperbolehkan dibantah," kata dia.
Adapun gelar "Buwono" menjadi "Bawono", dia menjelaskan, "Buwono" memiliki arti jagad kecil sementara "Bawono" memiliki arti jagad besar. "Kalau disebut Buwono daerah, ya Bawono berarti nasional. Kalau Buwono disebut nasional, Bawono berarti internasional," kata dia.
Selanjutnya, perubahan "kaping sedoso" menjadi "kasepuluh" adalah untuk menunjukkan urutan. Sebab "kaping" memiliki arti hitungan tambahan, bukan "lir gumanti" (urutan)."Seperti "kapisan" (pertama), "kapindo" (kedua), "katelu" (ketiga) dan seterusnya. Jadi tidak bisa "kaping sedoso" karena dasarnya "lir gumanti", kata dia.
Sementara itu, tambahan "Suryaning Mataram" menunjukkan berakhirnya perjanjian Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring yang merupakan periode mataram lama dari zaman Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang. Sementara mulai zaman Kerajaan Mataram dengan Raja Panembahan Senapati hingga Kerajaan Ngayogyakarta saat ini merupakan Mataram baru.
Adapun penggantian "Kalifatullah Sayidin" diganti "Langgeng Ing Toto Panoto Gomo" adalah menunjukkan berlanjutnya tatanan agama Allah di jagad." Hanya itu yang bisa saya artikan, kalau lebih dari itu nanti jadi ngarang sendiri dan belum tentu benar. Saya hanya sekadar menyampaikan "dawuh"," kata dia. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...