“Sumonar”, Manusia, Ruang Publik, dan Pengalaman Estetika Baru dalam Menikmati Karya Seni
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jumat (26/7) malam wajah sisi utara Gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Museum Bank Indonesia yang berada di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta disulap dengan berbagai warna, gambar, video, serta obyek visual grafis lainnya yang terus bergantian dalam iringan musik yang bisa dinikmati dalam cover area yang cukup luas.
Penyulapan Gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Museum Bank Indonesia tersebut menandai dibukanya Festival video mapping Sumonar yang digagas oleh komunitas Jogja Video Mapping dengan mengajak komunitas video mapping dari beberapa kota diantaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Bali, serta dari manca negara yakni Makau dan Filipina.
Sumonar menjadi festival video mapping yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Festival Director Sumonar 2019 Ishari ‘Ari Wulu’ Sahida dalam sambutan pembukaan menjelaskan bahwa pemilihan Sumonar menjadi festival festival video mapping di Indonesia menggantikan Jogja Video Mapping Festival (JVMF) yang dihelat tahun lalu sebagai kelanjutan rintisan yang telah dilakukan sejak tahun 2013 sebagai bagian dari Festival Kesenian Yogyakarta (FKY).
“Selepas (penyelenggaraan) JVMF saat diselenggarakan Art Vision di Moscow, sebuah festival projection mapping dan VJ yang cukup terkenal di Eropa, kami mempresentasikan JVMF dan sepertinya namanya kurang Asia (sehingga sounding nama JVMF kurang begitu menarik perhatian publik video mappping di Art Vision). Malam ini sekaligus menjadi rebranding JVMF menjadi Sumonar,” jelas Ari Wulu tentang perubahan nama JVMF menjadi Sumonar dalam sambutan pembukaan festival, Jumat (26/7) malam.
Dengan adanya Sumonar, Ari berharap hal tersebut akan menjadi salah satu alasan mengapa banyak masyarakat di Indonesia maupun dunia mau kembali berkunjung ke Yogyakarta setahun sekali saat setiap Sumonar dihelat.
Kurator Festival Sumonar Sujud Dartanto dalam sambutannya menjelaskan bahwa penyelenggaraan festival di kawasan heritage Titik Nol Kilometer Yogyakarta bisa menjadi penanda bagi perkembangan sebuah kawasan kota sepanjang waktu. Karakteristik karya video mapping yang sangat memperhatikan publikan dimana kehadiran publik menjadi hal yang penting terlebih ketika mengangkat tema My Place My Time.
Sujud menekankan bahwa karya-karya yang disajikan berbasis waktu (time based art) dengan terfokus pada seni cahaya, seni yang memaksimalkan media pencahayaan/lighting, dimana ketika karya tersebut diputarlah maka selesailah (karya tersebut). Sambil menikmati sajian karya, Sujud menghimbau pengunjung untuk menghidupkan gawai masing-masing untuk merekam peristiwa yang langka ini.
“Saya mengajak kita bersama untuk mengalami sebuah pengalaman yang disebut pengalaman estetika baru. Ini bukan karya-karya yang biasanya kita lihat di museum, tapi karya-karya yang membutuhkan pengalaman baru seperti mengembalikan sejarah kita yang hilang bahwa karya seperti ini adalah seperti kita melihat wayang, dimana wayang sendiri merupakan karya yang bersifat multimedia dan kebetulan seluruh caranya baru (pada video mapping). Jadi pengalaman kebaruan ini mudah-mudahan menjadi pengalaman kita bersama dan menjadi penghubung waktu antara dulu-sekarang dan terus ke masa depan,” jelas Sujud dalam sambutan kuratorialnya, Jumat (26/7) malam.
My Place My Time, Saat Kaum Muda Memandang Dirinya
Saat pembukaan ditampilkan lima karya video mapping secara bergantian selama kurang lebih dua jam yang diproyeksikan ke dinding utara Gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Museum Bank Indonesia. Lima karya video mapping tersebut dibuat oleh Furyco, Lepaskendali x Bazzier x Sasi, LZY Visual, Raymond Nogueira_Rampages, Uvisual. Adanya perubahan visual pada dinding kedua gedung disertai dengan iringan musik banyak menarik pengguna jalan yang melintas untuk sejenak menoleh menyaksikan perubahan visual yang terjadi.
Di ruang terbuka depan Monumen Serangan Umum 1 Maret serta Gedung Agung berangsur-angsur pejalan kaki merapat, memadati, berhenti sejenak bahkan banyak yang tidak berabjak hingga acara selesai untuk menyaksikan sajian yang bisa dikatakan langka. Jarak terbaik untuk menyaksikan karya video mapping yang diproyeksikan pada kedua gedung sekitar 50-75 meteran dari area poyeksi. Pada jarak tersebut mata pengunjung memiliki rasio yang nyaman untuk menyaksikan perubahan gerak dari video yang sedang dimainkan, meskipun untuk audionya mungkin tidak terlalu tercover pada area tersebut.
Di Loop Stasiun yang berada di jalan Pangurakan digelar Sumonar exhibition mempresentaikan karya seni video mapping dan media interaktif selama 26 Juli hingga 5 Agustus mulai dari pukul 10.00 hingga 21.00 setiap harinya.
Pada karya berjudul Electropicalia seniman Mvltiverse dari Filipina membuat karya video mapping yang diproyeksikan ke kain kassa (mesh fabric) sebagai penangkap obyek visualnya untuk mendefinisikan Filipina yang modern di tahun 2069. Dalam teknologi yang relatif sederhana Mvltiverse mencoba membuat video dengan obyek tiga dimensi yang ditangkap oleh kain kassa tersebut. Jika dilihat dari jauh sepintas Mvltiverse sedang membuat video hologram. Hari ini Yogyakarta masih disibukkan dengan sampah-sampah visual di berbagai ruas jalannya? Mungkin karya Electropicalia bisa diadposi dan dikembangkan menggantikan papan reklame dan baliho.
Di depan gedung Loop Stasiun disediakan media interkatif bagi pengunjung atau pejalan kaki yang melintas. Seniman videografi Dimas membuat instalasi rangkaian lampu hias meteor yang disambungkan dengan keyboard drum elektrik. Pukulan pada setiap pads drum elektrik direspon oleh rangkaian lampu hias dalam pendaran warna yang berbeda. Kombinasi pukulan dalam tempo yang cepat selain menghasilkan suara dari drum elektrik juga diikuti dengan perubahan yang lebih variatif pada rangkaian lampu hias meteor.
Tidak kalah menariknya adalah permainan interaktif dimana pada sebuah game dari sebuah video mapping, pengunjung bisa berinteraksi dalam game tersebut dan secara langsung (live) masuk dalam permainan tersebut. Adanya sensor gerak dan kamera yang dipasang di depan proyeksi game video mapping langsung merekam dan menampilkan pengunjung yang sedang ikut bermain ke dalam video mapping yang sedang berjalan.
Pada titik ini Sumonar menemukan momentun penting dimana pejalan kaki maupun pengguna jalan banyak yang berhenti dan berkumpul di area terbuka sisi utara kawasan Nol Kilometer Yogyakarta. Sumonar yang merupakan gabungan dari Sumon dan Sumunar dimana Sumon sendiri memiliki arti mengumpulkan.
“(Kota) Yogyakarta sudah semakin berkembang. Realitasnya demikian. Semakin banyak bangunan fisik yang tumbuh di berbagai wilayah kota. Menampilkan rupa kota baru sekaligus merampas ruang hidup untuk memandang yang lebih luas. Dengan realitas tersebut apakah kita hanya mampu untuk diam atau maksimal berteriak atas realitas baru tersebut? Bersama teman-teman (JVMF) saya memilih untuk bergerak menghilangkan batas yang menghalangi pandangan tersebut bahkan kalau memungkinkan menghilangkannya dengan cara baru salah satunya melalui video mapping project,” jelas Ari Wulu dalam obrolan santai dengan satuharapan.com di Artotel, Senin (22/7) siang.
Lebih lanjut Ari Wulu menjelaskan video mapping merupakan sebuah karya yang menggabungkan banyak disiplin ilmu. Di antaranya seperti video, script, musik dan masih banyak lagi yang bisa membuka peluang kreativitas bagi banyak pihak untuk memaknai perubahan-perubahan yang terjadi ruang hidupnya. Karya-karya yang tercipta bisa direpresentasikan ke objek-objek yang sangat representatif dan sangat menggambarkan Yogyakarta maupun Indonesia.
Sejak tahun 2013 video mapping diperkenalkan di beberapa ruas jalan serta ruang publik memanfaatkan bangunan-bangunan heritage di wilayah Yogyakarta seperti kawasan Malioboro, Kantor Apotik Kimia Farma, Gedung Museum Bank Indonesia, Gedung BNI ’46, Kandang Menjangan, hingga Tebing Breksi.
Ada hal menarik ketika kaum muda memutuskan pilihan jalanan sebagai panggung bukan sekedar menarik perhatian dan mengumpulkan massa, namun seolah mengingatkan bahwa pada saat-saat ini Yogyakarta secara kuantitas memang kekurangan ruang publik yang telah banyak berubah fungsi karena banyak hal.
Pada satu sisi, perubahan rupa kota akibat pembangunan fisik untuk pusat-pusat ekonomi, di sisi lain keterbatasan ruang yang ada telah mengurangi bahkan menghilangkan ruang-ruang publik lainnya yang menjadi persemaian dialektika aktivas manusia di atasnya. Di tengah semakin meningkatnya animo pelaku seni di atas panggung, pada saat bersamaan tidak semua mampu mengaksesnya akibat keterbatasan ruang panggung publik, sehingga jalanan dijadikan etalase presentasi karyanya.
Kita bisa menghitung bagaimana sepanjang Jalan Malioboro maupun jalan-jalan protokol lain di Kota Yogyakarta masih menjadi pilihan strategis dalam setiap penyelenggaraan festival, pawai, kirab. Sebutlah Malioboro Night Festival (MNF), Jogja Street Sculpture Project (JSSP), Jogja Carnival, Jogja International Street Performance (JISP), Pekan Budaya Tionghoa, maupun puluhan festival beserta pawai-kirab lainnya.
Hari-hari ini saat Yogyakarta mencoba membangun dirinya seolah dikepung kepentingan dan perebutan sumberdaya ekonomi semata. Jika Anda mencermati, iklan-iklan di banyak ruas jalan Yogyakarta yang menjual tanah dalam satuan luas yang akan membuat siapapun menggeleng-gelengkan kepala: dijual tanah per satuan cm2. Bisa dibayangkan, betapa mahalnya ruang publik disediakan bagi masyarakat dibandingkan jika ruang-ruang tersebut diubah menjadi ruang privat yang secara ekonomi mungkin bisa mendatangkan keuntungan lebih banyak dan lebih cepat, karena setiap jengkal tanah di Yogyakarta adalah asset dan investasi yang menggiurkan.
Dalam keterbatasan yang ada telah memicu dan memacu kreativitas di kalangan kaum muda Yogyakarta. Tumbuh suburnya ruang-ruang kolektif kaum yang banyak tersebar di berbagai wilayah Yogyakarta, disadari ataupun tidak menjadi warna lain yang mampu menghidupi Yogyakarta meskipun realitas tersebut jarang muncul ke permukaan. Sebutlah Ruang Mess 56, Honf, Survive!garage, serta komunitas lainnya dimana secara berkelanjutan mereka melakukan pertemuan dan perjumpaan menyemai-berbagi ide inter-antar anggota komunitasnya. Ruang-ruang yang demikian secara organis terus membangun inisiasi serta kesadaran bersama. Di ruang-ruang itulah, hari ini kaum muda Yogyakarta membaca realitas dan mencoba menafsirkan perubahan yang sedang dan akan terus terjadi.
Pembacaan-pembacaan itu menjadi penting ketika Yogyakarta hari ini seolah hanya berlari mengejar mimpi bagi pertumbuhan ekonominya semata. Bagaimanapun pada kota yang humanis, manusia adalah rupa kota itu sendiri. Kota tidak akan tumbuh dalam perjumpaan waganya yang tuna halaman, tuna ruang perjumpaan, dan tuna perjumpaan yang hangat.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...