Sunni Irak Protes Pengesahan UU Terkait Milisi Syiah
BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM - Parlemen Irak menetapkan undang-undang yang memberi status hukum penuh dan mengakui Unit Mobilisasi Popule (PMU) dari kelompok Syiah sebagai kekuatan cadangan dan pendukung militer dan polisi Irak. Unit ini bertugas menjaga keamanan dari ancaman teror yang dihadapi negara, seperti kelompok ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
UU itu disetujui oleh 208 dari 327 anggota parlemen pada hari Sabtu (26/11), namun ditolak oleh politisi Arab Sunni. Mereka mengatakan hal itu sebagai bukti apa yang mereka sebut "kediktatoran" dari mayoritas Syiah di Irak.
"Mayoritas tidak berhak menentukan nasib orang lain," kata Osama Al-Nujaifi, salah satu dari tiga wakil presiden Irak dan seorang politikus senior Sunni, seperti dikutip AP. Dia mengatakan pada konferensi pers setelah pemungutan suara. "Harus ada politik inklusi sejati. Hukum ini harus direvisi."
Anggota parlemen dari Islam Sunni lainnya, Ahmed Al-Masary, mengatakan UU itu menyalakan keraguan tentang partisipasi semua masyarakat Irak dalam proses politik. "UU itu menghambat pembangunan bangsa," katanya. Menurut dia, hukum itu berbahaya untuk militer dan polisi negara Irak.
UU diusulkan oleh blok Islam Syiah terbesar di parlemen, menempatkan milisi Syiah di bawah komando Perdana Menteri Haider Al-Abadi (dari Syiah) dan negara memberi gaji dan pensiun kepada milisi itu yang seyara dengan untuk militer dan polisi.
Dalam sebuah pernyataan, Al-Abadi menyambut UU dan mengatakan bahwa pasukan PMU menjadi nama resmi milisi itu, akan mencakup semua sekte Irak. Hal itu dianggap sebagai penyebutan terselubung terkait pasukan dari kelompok Islam Sunni yang jauh lebih kecil dan lebih lemah. Milisi Syiah diperkirakan berjumlah lebih dari 100.000 orang.
"PMU mewakili dan membela semua warga Irak di mana pun mereka berada," kata Al-Abadi. Hal ini terjadi ketika Irka melancarkan serangan besar untuk mengusir ISIS dari Mosul, kota terbesar kedua Irak, dan yang terakhir yang masih dikuasai oleh kelompok ekstremis yang sebagian besar Islam Sunni.
Milisi Syiah
Milisi Syiah, yang sebagian besar didukung oleh negara tetangga Iran, telah didukung dan dipersenjatai oleh pemerintah sejak ISIS menyerbu wilayah utara dan barat Irak pada tahun 2014. Banyak dari anggota kelompok ini, sebelum ISIS muncul, melawan pasukan Amerika Serikat di Irak dalam kurun 2003 dan 2011.
Mereka memainkan peran kunci mencegah gerakan ISIS di Baghdad dan kota-kota Syiah, seperti Samarra dan Karbala pada musim panas 2014. Juga membantu membebaskan daerah yang dikuasai ISIS di selatan, timur laut dan utara Baghdad. Mereka bersama pasukan keamanan terdesak oleh serangan cepat ISIS pada 2014. Namun, peran mereka berkurang oleh semakin kuatnya pasukan keamanan Irak.
Sementara hak-hak warga Irak dari kelompok Arab Sunni telah lama memprotes milisi Syiah yang terlibat dalam pembunuhan di luar hukum, penyalahgunaan dan pencurian atau perusakan properti di daerah di mana mereka mengusir ISIS. Namun komandan milisi menyangkal tuduhan itu atau mengatakan bahwa itu sebagai ekses.
Sekarang milisi itu bertugas mengusir ISIS dari kota Tal Afar di barat dari Mosul. Mereka merebut lapangan terbang kota itu awal pekan ini. Al-Abadi bertemu komandan milisi hari Kamis.
Sementara itu di Mosul, pejabat militer dan rumah sakit Irak mengatakan bahwa mortir ditembakkan oleh militan ISIS hari Jumat dan Sabtu, dan menewaskan 16 warga sipil di lingkungan yang sudah direbut oleh pasukan Irak.
Warga sipil dilaporan sejumlah media Irak terus mengalir keluar dari lingkungan kota untuk melarikan diri dari pertempuran menuju ke kamp-kamp untuk pengungsi. Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan setidaknya 73.000 warga Irak telah melarikan diri Mosul sejak serangan dimulai pada 17 Oktober.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...