Survei LSI: 76,3 Persen Publik Dukung Perpu KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan, dari hasil surveinya sebanyak 76,3 persen publik mendukung Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) KPK.
"Seperti SP3, dalam UU KPK diatur dua tahun tidak selesai kasus langsung SP3, apalagi kasus korupsi itu kan seringkali melibatkan faktor politik dan ekonomi dan itu rumit, karena rumit ada banyak kasus yang tidak bisa diselesaikan dalam dua tahun. Tapi dalam revisi yang baru, lewat dua tahun langsung SP3, orang-orang yang korup juga bisa saja mengulur-ulur kan? Publik tahu model pelemahan dalam UU KPK," kata Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, di Jakarta, Minggu (6/10).
Publik kata dia menginginkan agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu KPK guna membatalkan undang undang hasil revisi atau untuk merevisi pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan lembaga anti rasuah tersebut.
Dari responden yang sama, LSI juga mendapat data sebanyak 70,9 persen publik percaya bahwa Undang Undang KPK hasil revisi merupakan tindakan pelemahan. Kemudian publik yang meyakini undang-undang tersebut merupakan bentuk dari penguatan hanya berjumlah 18 persen saja, 11,1 persen lainnya menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.
LSI juga mendata sebanyak 60,7 persen mendukung demonstrasi mahasiswa menentang UU KPK, sementara, yang menolak hanya 5,9 persen saja.
Lembaga Suevei Indonesia mendapatkan indeks tersebut dari kegiatan survei telepon nasional yang digelar pada 4-5 Oktober 2019 dengan jumlah responden sebanyak 17.425 orang.
Tujuan dari survei yakni guna melihat sikap publik terhadap kontoversi UU KPK dan penilaian masyarakat terhadap aksi demonstrasi hang digelar mahasiswa.
Pemakzulan karena Perppu KPK itu Pembodohan Publikâ
Di kesempatan yang sama peneliti LIPI, Prof Dr Syamsuddin Haris, mengatakan, selentingan isu yang berkembang tentang penerbitan Perpu KPK bisa berdampak pada pemakzulan Presiden Joko Widodo merupakan pembodohan publik.
"Ini pembodohan publik, bukan saja salah paham tapi paham yang salah. Pemakzulan itu tidak seperti itu," kata dia.
Pemakzulan sesuai konstitusi, kata dia, bisa terjadi kalau presiden melakukan pelanggaran hukum yang mencakup pengkhianatan terhadap negara, tindak kriminal, penyuapan atau presiden melakukan perbuatan tercela.
"Dan yang melakukan penilaian atas semua itu adalah Mahkamah Konstitusi bukan partai politik di dewan, jadi jangan salah tidak tepat Perpu dihubungkan dengan pemakzulan," katanya.
Presiden Joko Widodo seharusnya tidak perlu terganggu oleh isu pemakzulan dalam mengambil keputusan soal penerbitan Perpu KPK. Sebagian publik menolak UU KPK hasil revisi karena diyakini melemahkan lembaga antikorupsi itu, sehingga perlu dibatalkan, ditinjau ulang atau menunda penggunaan UU KPK itu dengan cara penerbitan Perpu oleh presiden.
Haris menilai UU KPK hasil revisi terdapat cacat prosedural sebab undang-undang itu disusun secara diam-diam, tergesa-gesa serta tanpa partisipasi publik.
"Bahkan, tanpa melibatkan KPK sebagai pemangku kepentingan utama sebagai lembaga utama yang diatur di dalam undang-undang itu," kata dia.
Selain cacat prosedural, dia juga menilai UU KPK cacat secara substansi sebab isinya melemahkan institusi anti rasuah itu.
"Saya bahkan mengatakannya sebagai pelumpuhan atas KPK dan ini bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang ingin mengawal KPK dan memberantas korupsi, oleh sebab itu presiden mesti menerbitkan Perpu untuk membatalkannya," ujar dia. (antaranews.com)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...