Survei LSI: Gerakan 212 Picu Naiknya Intoleransi di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dua dasawarsa reformasi rupanya belum sepenuhnya meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Yang terjadi justru sebaliknya, demokrasi mengalami kemunduran. Dua masalah yang dinilai berkontribusi pada kemunduran demokrasi adalah korupsi dan intoleransi.
Inilah alasan, yang melatarbelakangi Lembaga Survei Indonesi (LSI) melakukan survei nasional, mengenai tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi. Survei ini dilakukan selama 1-7 Agustus 2018 dengan melibatkan 1.520 responden Muslim dan non-Muslim.
Menurut peneliti senior LSI Burhanudin Muhtadi, salah satu penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia adalah kebebasan sipil.
Salah satu ukurannya yakni apapun latar belakang agama, sosial, dan etnik, setiap orang sedianya mendapat peluang yang sama untuk menjadi pejabat publik atau menjalankan hak beribadah, berkeyakinan, dan berekspresi.
Dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (24/9), Burhanudin mengatakan, survei mengenai intoleransi yang melibatkan responden Muslim dan non-Muslim. Ada enam pertanyaan diajukan, empat terkait intoleransi politik dan dua lainnya mengenai intoleransi religius kultural.
Pertanyaan terkait intoleransi politik kepada responden Muslim di antaranya adalah, apakah Anda keberatan atau tidak keberatan jika non-Muslim menjadi presiden, wakil presiden, gubernur, wali kota, atau bupati. Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden non-Muslim. Pertanyaan terkait intoleransi religius sosial misalnya soal izin mendirikan rumah ibadah bagi Muslim atau non-Muslim, perayaan keagamaan di sekitar tempat tinggal Anda.
Hasilnya, kata Burhanudin, mayoritas warga Muslim (54 persen) tidak keberatan jika orang non-Muslim mengadakan acara keagamaan di daerah sekitarnya. Tetapi sebagian besar warga Muslim (52 persen) keberatan kalau orang non-Muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya.
Burhanudin menambahkan, 52 persen warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi wali kota, bupati, atau gubernur.
Sebanyak 55 persen warga Muslim juga keberatan jika orang non-Muslim menjadi wakil presiden. Penolakan makin besar ketika jabatan yang ditanyakan adalah presiden, di mana 59 persen warga Muslim keberatan bila non-Muslim menjadi presiden.
Sebaliknya, kata Burhanudin, mayoritas warga non-Muslim (84 persen) tidak keberatan jika orang Muslim mengadakan acara keagamaan, 70 persen tidak keberatan bila warga Muslim membangun tempat ibadah, 78 persen tidak menolak kalau orang Muslim menjadi wali kota, bupati, atau gubernur, 86 persen warga non-Muslim tidak keberatan jika orang Muslim menjadi presiden atau wakil presiden.
LSI: Dampak Gerakan 212 Tak Hanya Sesaat
Burhanudin membantah demonstrasi 212, hanya fenomena sesaat dan akan berhenti setelah mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dipenjara. Tren kenaikan tingkat intoleransi jika ada warga non-Muslim menjadi kepala daerah atau kepala pemerintahan, kata Burhandin, justru terjadi sejak ada protes anti-Ahok pada 2016.
Burhanudin mengatakan, intoleransi politik terhadap non-Muslim terus berlanjut dan efeknya mulai menular ke level sosial. Dia menambahkan sebelum ada Gerakan 212, tren intoleransi politik dan intoleransi religius sosial sedang turun.
"Bukan 212 yang merupakan puncak dari radikalisme, tapi 212 yang justru membuka keran terhadap makin naiknya intolleransi,” katanya.
Gerakan 212 adalah sebuah demonstrasi besar-besaran yang oleh penyelenggaranya diklaim diikuti oleh sekitar tujuh juta warga Muslim, yang menuntut agar Ahok diadili dengan tuduhan melecehkan agama Islam akibat pernyataannya di Kepulauan Seribu pada September 2017.
Dibanding Tahun 2017, Dukungan pada Demokrasi Naik
Pada sisi lain ada hasil yang cukup memberi harapan. Survei ini mendapati bahwa dukungan pada demokrasi mencapai 83 persen, atau naik dibanding tahun lalu yang mencapai 76 persen. Demikian pula tingkat kepuasan atas jalannya demokrasi yang mencapai sebesar 73 persen.
Lebih lanjut Burhanudin mengatakan, mayoritas responden setuju dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, yakni sebesar 90 persen, sama dengan hasil survei tahun lalu.
Direktur Eksekutif the Wahid Institute Yenny Wahid, membenarkan tentang adanya kecenderungan peningkatan intoleransi politik di Indonesia, namun menolak asumsi bahwa Indonesia kini menjadi negara yang intoleran atau radikal.
Yenny mengatakan, kecenderungan meningkatnya intoleransi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi merupakan tren dunia. Dia menambahkan tirani atau intoleransi cenderung terjadi pada kelompok mayoritas. Dia mencontohkan di Jawa yang mayoritasnya Muslim, tirani atau diskriminasi terjadi pada kelompok non-Muslim. Sebaliknya di Papua yang mayoritasnya Kristen, susah untuk membangun sebuah masjid. Namun, Yenny yakin Indonesia masih lebih baik ketimbang negara-negara lain dalam hal toleransi.
"Seintoleran-intolerannya Indonesia, kita tidak punya partai politik yang mendasarkan platform politiknya dengan upaya untuk mengusir satu kelompok agama tertentu dari negaranya seperti yang ada di satu negara di Eropa. Kita tidak punya partai politik yang platform politiknya adalah merobek kitab suci agama lain seperti yang ada di salah satu negara di Eropa," kata Yenny.
Meski begitu, Yenny meminta semua pihak untuk waspada agar tidak mengarah ke arah sana.
Menanggapi hasil survei LSI, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengaku tidak terlalu kaget dengan temuan bahwa demokratisasi tidak sejalan dengan semangat atau perilaku antikorupsi. Dia menambahkan dari beragam kajian tidak ada hubungan yang selalu positif antara demokrasi dan antikorupsi.
Adnan mencontohkan Singapura. Kalau dari segi demokrasi, negara Singa itu tertinggal jauh dibanding Indonesia, namun semangat dan perilaku antikorupsinya jauh lebih baik.
Adnan menambahkan, ICW sudah memprediksi wabah korupsi di daerah-daerah akan meningkat pasca pemberlakuan desentralisasi, terlebih setelah desa diberi otonomi untuk mengelola dana desa.
Menurut Adnan, makin banyaknya orang yang ditangkap atas dugaan korupsi bukan berarti terjadi peningkatan wabah rasuah.
"Karena meningkatnya korupsi di sebuah negara tidak bisa diukur dari banyaknya pelaku korupsi yang ditangkap oleh penegak hukum. Justru sebaliknya, meningkatnya pelaku korupsi yang ditangani oleh penegak hukum menunjukkan semakin baiknya penegakan hukum itu bekerja,” katanya.
Lebih lanjut Adnan mengatakan, makin tingginya pendidikan seseorang kian membuka peluang untuk menjadi pelaku korupsi. Sesuai data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, kebanyakan pelaku korupsi berpendidikan S-1 hingga S-3 dan bahkan profesor. (Voaindonesia.com)
Editor : Sotyati
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...