Survei: Mayoritas Masyarakat Masih Inginkan Pilkada Langsung
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Survei yang dilakukan Charta Politika mengemukakan 74 persen dari 600 responden masih menginginkan Pemilihan Umum Kepala Daerah dipilih secara langsung, tidak melalui DPRD seperti yang masih dibahas di Komisi II DPR mengenai Rancangan Undang-Undang Pilkada.
"Sebagian besar masih inginkan Pilkada langsung. Maka perlu dikaji kembali usulan Menteri Dalam Negeri (Gamawan Fauzi) mengenai Pilkada lewat DPRD, dan apakah alasan-alasan Mendagri relevan dengan realita ?," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya di Jakarta, Kamis (5/12).
Dari data yang dipaparkan Yunarto, sebanyak 18 persen masyarakat menyetujui Pilkada melalui DPRD, dan sisanya tidak mempermasalahkan dua mekanisme pelaksanaan tersebut, serta yang lainnya enggan menjawab.
Menurut Yunarto, alasan Kemendagri yang mengajukan Pilkada melalui DPRD, karena banyaknya konflik horizontal akibat pilkada langsung, tidak sesuai realita yang ada.
Konflik tersebut memang terjadi, namun kata Yunarto, jumlahnya tidak signifikan, dan seharusnya tidak diartikan sebagai urgensi yang mendesak untuk perubahan kembali ke Pilkada melalui DPRD seperti era pemerintahan Orde Baru.
Dari data yang ditelusuri Charta Politika berdasarkan informasi Kemendagri dan LSM anti-kekerasan, sejak Pilkada Langsung pada 2011 hanya terjadi delapan konflik dari 115 pelaksanaan elektoral. Kemudian, pada 2012, dari 77 kali Pilkada, terjadi enam kali konflik sosial. Pada 2013, Charta menemukan 38 konflik dari 149 kali pelaksaanaan Pilkada. Pada 2013, Charta Politika mengutip data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan.
"Aspek penting reformasi adalah Pilkada langsung yang awalnya melalui DRPD. Memang timbul polemik seperti mahalnya biaya politik, politik uang, dan sebagainya. Namun yang paling penting adalah implementasi aturan yang ketat dan sanksi yang tegas untuk pelanggar," ujar Yunarto.
Charta Politika melakukan survei dengan mekanisme wawancara melalui telepon di Medan, Palembang, Jakarta Timur, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar, dengan 600 responden pada 18-24 November.
Yunarto mendeskripsikan responden dalam survei ini mewakili kalangan masyarakat segmen A, B, dan C atau segmen menengah dan menengah ke atas.
Mengenai responden yang hanya mewakili kelas menengah dan berasal dari kota-kota besar, Yunarto beranggapan, jika survei dilakukan terhadap segmen masyarakat di kota-kota kecil atau daerah, maka persentase responden yang tidak setuju Pilkada melalui DPRD akan lebih besar.
Hal itu karena, menurut dia, alasan yang digunakan Kemendagri untuk pengajuan Pilkada melalui DPRD ini adalah banyaknya politik uang di Pilkada langsung.
Menurut Yunarto, di kota-kota kecil dengan segmen masyarakat menengah dan menengah ke bawah, justru menjadi sarang dari politik uang dan sistem politik transaksional.
"Maka itu, jika konteks banyaknya politik uang di pilkada langsung, berarti masyarakat yang setuju dengan pilkada langsung tentu akan lebih banyak," ujarnya.
Penelitian ini mendapati tingkat kepercayaan sebesar 95 persen dengan "margin of error" plus minus empat persen. (Ant)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...