Suster Katolik Berjuang agar Muslim Pelaku Bom Boston Tidak Dihukum Mati
BOSTON, SATUHARAPAN.COM - Pelaku bom Boston, Dzhokhar Tsarnaev, telah memberikan testimoni kepada seorang biarawati Katolik, yang terkenal sangat keras menentang hukuman mati.
Dalam testimoninya itu, bomber Boston tersebut mengatakan tidak ada seorang pun yang pantas menderita, termasuk korban pengeboman yang terjadi pada tahun 2013 itu. Biarawati tersebut memberikan kesaksian yang meringankan dengan harapan terdakwa tidak dihukum mati.
Reuters melaporkan, bulan lalu juri Federal telah memutuskan bahwa remaja berusia 21 tahun itu bersalah telah membunuh tiga orang dan melukai 264 lainnya. Selanjutnya para juri harus berunding apakah akan menghukum terdakwa dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup tanpa kemungkinan untuk bebas.
"Dia berkata dengan tegas. Dia mengatakan tidak ada yang layak menderita seperti mereka," kata Helen Prejean,suster berusia 76 tahun, menceritakan ulang terstimoni Tsarnaev.
"Saya memiliki alasan untuk berpikir bahwa ia mengambil bagian dalam pengeboman itu dan dia benar-benar menyesal atas apa yang ia lakukan," kata dia.
Dua bom bikinan tangan meledak di tengah kerumunan di sekitar garis finish pada lomba lari maraton 15 April 2013 di Boston. Kejadian itu menyebabkan 17 orang kehilangan anggota tubuh.
Selama masa persidangan para juri telah mendengar kesaksian para korban yang selamat maupun keluarga-keluarga yang kehilangan anggota keluarga mereka karena meninggal.
Prejean mengaku sudah lima kali bertemu dengan Tsarnaev atas permintaan pengacara. Dan ia mengaku terinspirasi oleh buku terbitan 1993 dan difilmkan tahun 1995 "Dead Man Walking." Prejean adalah wajah publik dari Pelayanan Menentang Hukuman Mati yang berbasis di New Orleans dan telah-dinominasikan untuk hadiah Nobel Perdamaian.
Sementara itu Tsarnaev, yang sepanjang masa persidangan duduk diam-diam tanpa ekspresi hanya sekali menunjukkan emosinya tersentuh yakni ketika bibinya menangis di kursi saksi.
Jaksa yang menuntut hukuman mati atas Tsarnaev, berpendapat bahwa terdakwa yang berlatar belakang etnis Chechnya itu adalah seorang penganut ideologi Islam militan al Qaeda. Ia melakukan aksinya "untuk menghukum Amerika" atas serangan militer AS di negeri-negeri Muslim.
Sementara itu pengacara Tsarnave mengatakan kliennya hanyalah pelaku kedua dalam rencana serangan yang dibuat oleh abangnya yang berusia 26 tahun.
Abangnya itu, Tamerlan Tsarnaev, meninggal pada tanggal 19 April 2013, setelah terjadi tembak-menembak dan berakhir ketika polisi Dzhokhar secara tidak sengaja menabraknya saat mengendarai kendaraan curian untuk melarikan diri. Beberapa jam sebelumnya mereka berdua menembak anggota polisi universitas hingga mati.
Dalam delapan hari persidangan,pembela Tsarnaev ini telah memanggil 44 saksi.
Sebagai catatan, hukuman mati tidak populer di Boston, di mana undang-undang negara tidak mengizinkan hukuman itu. Jajak pendapat menunjukkan bahwa penduduk lebih memilih untuk melihat Tsarnaev dihukum penjara seumur hidup daripada dihukum mati..
Keluarga dua korban juga telah mendesak jaksa agar membatalkan eksekusi mati. Pengacara berpendapat bahwa hukuman seumur hidup lebih cepat untuk menjauhkan terdakwa dari mata publik dibandingkan dengan berbagai proses banding dalam kasus hukuman mati.
John Oliver, sipir penjara keamanan maksimum di Florence, Colorado, di mana Tsarnaev akan dikirim jika terhindar dari hukuman mati, mengatakan Tsarnaev bisa menulis buku, menonton TV dan mendapatkan gelar sarjana selama di penjara.
Jaksa dan pembela diharapkan membuat argumentasi penutup mereka pada hari Rabu setelah satu hari istirahat.
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...