Sweeping dan Eksodus Kristen Pasca Pembakaran Gereja Singkil
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Hubungan Masyarakat Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Jeirry Sumpampow, mengungkapkan bahwa setelah pembakaran dan perusakan gereja-gereja di Aceh Singkil, terjadi eksodus warga Kristen keluar dari Aceh Singkil.
“Terjadi eksodus orang Kristen dari Aceh Singkil setelah terjadi pembakaran dua gereja,” katanya di Grha Oikoumene PGI, Jl Salemba no 10, Jakarta, Selasa (13/10). “Di perbatasan Aceh Singkil dan Sumatera Utara juga terjadi sweeping warga yang hendak masuk dan keluar,” ia menambahkan.
Menurut PGI, Dua gereja yang dibakar massa itu ada di Desa Gunung Meria Singkil, yaitu Huria Kristen Indonesia dan Gereja Katolik. Selain itu, terjadi penganiayaan terhadap Pdt Erde Berutu STh yang mempertahankan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi Kuta Karangan Kab. Aceh Singkil. Pdt Berutu berusaha melindungi GKPPD dari perusakan massa. Pada akhir Agustus lalu, GKPPD Mandumpang—juga di Aceh Singkil—dibakar.
Kronologi
Sebelum mengeluarkan sikap terkait dengan aksi intoleransi di Aceh Singkil, PGI menjelaskan bahwa massa Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil pada Selasa, 6 Oktober 2015 lalu menggelar unjuk rasa. Mereka mendesak pemerintah yang tidak memiliki izin dibongkar. Mereka mengancam jika sampai Selasa pekan depannya tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka sendiri yang akan membongkar.
Pada Senin (12/10) Bupati Aceh Singkil Safriadi, Musyawarah Pemimpin Daerah, ulama, ormas Islam serta tokoh masyarakat setempat secara sepihak sepakat untuk membongkar 10 gereja dalam kurun waktu dua pekan. Pembongkaran dilakukan mulai 19 Oktober. Gereja-gereja yang dibongkar, pengurusnya diminta untuk mengurus izin. Pengurusan izin harus memenuhi Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 8 dan No 9 Tahun 2006 dan Peraturan Gubernur Aceh No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah.
Kesepakatan tersebut diambil untuk menenangkan massa yang menuntut pembongkaran pada 13 Oktober. Walau sudah ada kesepakatan, aksi perusakan dan pembakaran oleh massa yang bersenjata tajam dan bambu runcing tetap terjadi. Juga diduga ada dua warga tewas, ada yang menduga tembakan dari aparat. Namun, ada juga korban tewas akibat terkena senjata rakitan.
Pernyataan Sikap
Konferensi pers dihadiri oleh Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Rumadi Ahmad, Komisoner Komisi Nasional Hak Asasi (Komnas HAM) Imdadun Rahmat, Ketua Umum PGI Pdt Henriette Tabitha Hutabarat Lebang, Wakil Sekretaris Umum PGI Pdt Krise Anki Rotti-Gosal, Kepala Humas PGI Jeirry Sumpampow, Peneliti Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika Sudarto, dan Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq.
PGI terkait aksi anarkis intoleran ini menyatakan mengutuk keras. Mereka juga mengeluhkan kurang tanggapnya aparat keamanan dan kepolisian. “Padahal sudah ada tanda-tanda jelas sebelumnya,” kata Pdt Lebang. Pendeta Gereja Toraja yang akrab disapa Pdt Eri ini juga menegaskan, “Kebebasan beribadah dijamin oleh konstitusi dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2.”
PGI juga menyatakan negara juga harus memfasilitasi warga untuk beribadah saat kondisi objektif membuat mereka tidak mampu memenuhi syarat mendirikan rumah ibadah sesuai PBM 2006 (pasal 14). Pdt Eri mengatakan bahwa tidak maksud gereja untuk tidak mengurus izin. “Bahkan sering usaha untuk mengurus izin sudah maksimal, tetapi izin mendirikan rumah ibadah tidak keluar juga.”
Pemberian batas waktu pengurusan izin bagi gereja-gereja di Aceh Singkil juga dipandang PGI sebagai hal yang tidak masuk akal. “Cuma diberi waktu enam bulan dan harus didahului dengan pembongkaran itu sama saja menghalangi warga Kristen di Aceh Singkil tidak beribadah. Sebab, tidak kejelasan dari Pemda Aceh Singkil tentang jaminan beribadah.”
Ikuti berita kami di Facebook
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...