Tak Punya Akta Kelahiran, Anak Rentan Korban Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Satuan Tugas Perlindungan Anak (Satgas-PA) menyebutkan, anak yang tidak memiliki akta kelahiran dapat mengakibatkan anak mendapat tindak kekerasan.
"Tidak adanya akta kelahiran berarti anak tidak memiliki kejelasan identitas, dan ini adalah akar masalah terjadi kekerasan struktural yang dialami anak Indonesia," kata Koordinator Eksekutif Satgas-PA Ilma Sovri Yanti di Jakarta, Kamis (30/7).
Dia mencontohkan kasus penelantaran dan pembunuhan bocah perempuan Engeline, orangtua dapat menelantarkan anaknya lantaran dia tidak memiliki kejelasan identitas.
Menurut dia, ini adalah tanggungjawab pemerintah untuk memberikan akta kelahiran kepada seluruh anak di Indonesia.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri tahun 2010, capaian akta kelahiran anak di Indonesia baru sekitar 53,5 persen, dan sebesar 46,7 persen anak belum memiliki akta kelahiran.
Selain itu, pemerintah juga belum menerapkan peraturan bebas biaya pengurusan akta kelahiran pada semua kabupaten dan kota.
Hanya 219 dari 487 kabupaten dan kota, yang telah memiliki peraturan daerah terkait akta kelahiran dan secara eksplisit masih memungut biaya.
Menurut dia model dan tren tindak kekerasan terhadap anak, adalah pornografi melalui IT dan internet.
"Ada sebuah kasus ditemukan video seorang asing dengan anak kecil sedang bersetubuh, ternyata orang tua anak tersebut sebelumnya telah dibayar agar anaknya mau melakukan hal tersebut. Kemiskinan dijadikan target untuk praktek pembuatan video porno," kata dia.
Selain itu faktor pendidikan rendah pada keluarga, juga menjadi alasan untuk melakukan kekerasan kepada anak.
Dia mengatakan, keluarga atau orangtua di Indonesia masih menganggap anak adalah hak mereka, sehingga anak tidak memiliki haknya sendiri.
Pada 2015, kasus penelantaran anak menjadi populer di masyarakat, banyak orang tua yang lepas tanggungjawab dalam merawat anaknya.
"Seperti di Sukabumi, banyak orangtua yang dengan gampangnya melepas anaknya ke tangan orang lain untuk diadopsi, jika ditanya kenapa alasannya begitu mudah melepaskan anaknya, hampir semuanya menjawab, demi anak tersebut mendapatkan kesehatan, tempat tinggal dan pendidikan untuk anak tersebut terpenuhi," kata dia.
Menurut dia, semua pihak harus berpikir kembali, apakah adopsi menjadi jalan terbaik untuk anak, ketika orangtua tidak mampu mengasuh anaknya.
KPAI Pelatihan Bagi Calon Pengantin Benahi Pola Pengasuhan
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), akan membuat pelatihan singkat khusus para calon pengantin sebelum menjalani kehidupan berumah tangga untuk membenahi pola pengasuhan anak.
KPAI mencatat hingga September 2014, terdapat 1.499 kasus kekerasan anak yang terlapor. Masih tingginya angka ini pun membuat KPAI belum mencabut status darurat kekerasan anak.
Sekretaris KPAI Erlinda mengatakan, pola pengasuhan anak belum mengakomodasi hak-hak anak. Oleh karena itu, pihaknya sedang membuat modul untuk menyiapkan pasangan yang akan menikah agar menjalani sejumlah tes serta pelatihan.
Cara ini, katanya, diharapkan bisa membuat pola pengasuhan anak berubah ke arah yang lebih positif. Sebagai contoh, dia menyebut pria maupun perempuan yang akan menikah bisa mendapat sejumlah bekal dasar terkait membina keluarga dan merawat anak.
“Kami juga sedang menyiapkan modul, untuk membuat short course kepada pasangan yang mau menikah. Ini kerja sama dengan beberapa kementerian terkait,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Kecenderungannya saat ini, kata Erlinda, keluarga terdiri dari orangtua yang keduanya sibuk bekerja. Kesibukan orangtua itulah yang kerap kali menjadi alasan perhatian dan kasih sayang yang tereduksi.
Dia menilai, bila setiap keluarga bisa memberikan perhatian yang cukup dengan mencukupi hak-hak anak, kekerasan pada anak akan menurun sebanyak 20 persen hingga 30 persen
Sebagai orangtua, katanya, harus kian pandai mengatur siasat bagaimana kesibukan tak menghalangi kedekatan dan perhatian kepada anak. Pasalnya, semakin berkurangnya perhatian, semakin besar kerentanan anak terhadap kekerasan.
Cara paling sederhananya, katanya, bisa dilakukan dengan membuatkan sarapan, mengantarnya ke sekolah, menemani anak saat menyelesaikan tugas sekolah dan melakukan kegiatan bersama.
Hal yang kerap luput yaitu, anak tak mendapat ruang untuk berpartisipasi dalam keluarga. Dengan demikian, perhatian untuk pemenuhan hak-haknya tergolong belum memenuhi harapan.
Prinsip pengasuhan anak yaitu nondiskriminasi, menjamin hak hidup, kelangsungan dan perkembangan; kepentingan terbaik bagi anak dan penghargaan terhadap pendapat anak.
“Masih jarang pengasuhan yang melibatkan partisipasi anak,” katanya. (Ant/kpai.go.id)
Editor : Bayu Probo
Ikuti berita kami di Facebook
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...