Tamparan Sosial Kasus Dwiki Sopian
Dwiki Sopian, remaja berusia 16 tahun, meninggal karena urusan sepele. Mengapa remaja begitu mudah jadi brutal?
Bandar Lampung, Satuharapan.com - SENIN, 7 Maret bulan lalu, Dwiki Dwi Sopian remaja 16 tahun yang masih mengenyam bangku kelas 2 SMK di Kota Bandar Lampung ditemukan tewas bersimbah darah di sisi Jalan Raden Imba Kesuma, Sumur Putri, Teluk Betung Selatan. Pihak kepolisian menangkap lima orang pelaku yang mirisnya masih sekisaran usia, bahkan motifnya pun sangatlah sederhana, tersinggung dalam pusaran kesalahpahaman.
Pameo klasik memang menerangkan, darah orang muda terlalu mudah memanas, tetapi darinya juga kerap muncul kecerobohan dan kenakalan yang kelak ikut mendewasakan. Namun, apakah dalam kasus Dwiki, simplifikasi ini layak diberlakukan? Mari ketuk lebih dalam lagi hati nurani dan akal sehat yang ada untuk bisa menjawabnya.
Berdasar uraian kronologis kepolisian atas bukti-bukti dan pengakuan para tersangka, dapat dipahami betapa peristiwa memilukan ini bukan kasus kriminal biasa, bahkan juga tak semata tindakan spontan, apalagi kekhilafan yang bisa dimaklumi begitu saja. Ini jauh lebih buruk, dan boleh jadi hanyalah sepucuk penampakan fenomena gunung es yang tak akan mungkin terukur jika terus diabaikan.
Dengan total 107 luka tusukan benda tajam, dan runtutan adegan pembunuhan yang terjadi, peristiwa ini sangat pantas disebut sadistis. Menghujamkan benda asing ke tubuh seseorang sekali saja, dengan alasan apapun, semestinya langsung menimbulkan keguncangan batin dan rasa bersalah yang teramat sangat. Sebaliknya, pelaku justru kehilangan akal dan nurani kemanusiaannya sama sekali, entah apa yang ada di benak mereka saat itu.
Prinsipnya ini sama sekali tak boleh direspon hambar, terlebih dilakukan oleh anak-anak remaja yang dipundaknya terdapat masa depan kehidupan bangsa. Semoga tercapailah rehabilitasi mental para tersangka selama terhukum nanti. Tapi yang pasti jangan biarkan ini terus terduplikasi, menggejala hingga menggusur pandangan umum bahwa darah muda yang sekedar berdarah panas, menjadi darah muda yang juga berarti penjahat berdarah dingin.
Sepenuh jiwa harus diyakini bahwa di luar sana, jutaan remaja Indonesia menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. Tetapi harus diakui tak sedikit yang terjerembab dalam kehidupan yang menanggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Banyak di antaranya yang tak menyadari batas-batas kenakalan, atau justru menjadi korban orang-orang dewasa yang biadab. Kepada merekalah kepedulian harus dicurahkan dengan tegas.
Kita Bertanggung Jawab?
Para tersangka mutlak bersalah dan pantas menghadapi tuntutan 10 tahun penjara, karena perilaku sadistis tak pernah boleh ditolerir. Tetapi mereka juga remaja yang sebagian besar imajinasinya dibentuk secara sosial oleh masyarakat. Segala fenomena patologis atau penyimpangan adalah juga tanggung jawab kolektif segenap entitas di lingkungan sosialnya. Entah mengapa di zaman yang serba tanpa sekat komunikasi ini, justru semakin sering kebobolan, dan lumpuh menjalankan fungsi kontrol sosial.
Tentu saja ini bukanlah kasus sadisme yang pertama atau satu-satunya, baik di kota ini maupun wilayah Indonesia lainnya. Justru sudah begitu banyak rentetan kasus kekejaman manusia terhadap sesamanya yang terkuak di negeri ini. Maka sudah seharusnya kasus ini menjadi gelegar bunyi gong bagi kita semua, yang menandakan peringatan betapa harus diakhirinya semua tragedi ini demi cita-cita peradaban yang mulia.
Tewasnya Dwiki, semestinya pula diposisikan sebagai tamparan yang menunjukkan telah nyaris musnahnya ikatan kolektif masyarakat Kota Bandar Lampung. Benar memang secara teoritis kecenderungan watak sosial masyarakat perkotaan ialah terfragmentasi. Terbelah-belah menjadi ikatan dalam komunitas-komunitas terkecil, seperti hanya di lingkaran keluarga intinya, atau justru hanya terhadap dirinya sendiri, di luar itu semua pintu kepedulian ditutup rapat.
Namun, itu bukanlah sebuah postulat yang tak perlu diuji lagi kebenarannya secara empiris. Ingatlah bahwa sudah menjadi hakekat dari umat manusia, untuk bisa mempertahankan hidupnya, hanya jika ia sadar akan pentingnya membangun relasi dan ikatan sosial yang saling menguntungkan. Maka bukanlah hal mutlak jika kehidupan masyarakat kota itu harus berasaskan individualisme dan melunturkan semua karakter kolektifnya.
Sebagai bangsa yang mengaku dirinya beradab, maka kita semua harus tegas menghidupkan api kepribadian dalam berkebudayaan. Indonesia bukanlah bangsa penganut azas kebebasan yang kebablasan. Sejak awal pembentukan identitasnya, telah diserap nilai-nilai luhur dari segala ragam budaya lokal di negeri ini, bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi azas kemerdekaan, yakni kebebasan yang bertanggung jawab.
Cukup sudah, mulai saat ini jangan lagi kita saling mengabaikan, tak peduli hidup di pedesaan apalagi perkotaan. Kematian Dwiki dan manusia Indonesia lainnya oleh tangan keji saudara sebangsanya sendiri hanya bisa diakhiri jika kita kembali memperkuat ikatan sosial. Kepedulian dan solidaritas adalah hukum kehidupan yang mutlak harus kita jalani kembali dengan penuh kesadaran. Tabik!
Penulis adalah alumnus FISIP Universitas Lampung jurusan Sosiologi
Editor : Trisno S Sutanto
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...