Tanpa Keterwakilan, Masyarakat Adat Tidak Akan Dukung REDD+
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Tim Khusus REDD+ di Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), William Sabandar, menyebut masyarakat adat adalah mitra strategis UKP4. Karena masyarakat adat berada di garda terdepan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini disampaikannya dalam acara Konsultasi Nasional REDD+ di Jakarta pada Selasa (26/11).
Konsultasi nasional bertema Kompleksitas Kebijakan Pemerintah tentang Kehutanan dan Penerapan Strategi Nasional REDD+ serta Implikasinya terhadap Masyarakat Adat ini diselenggarakan AMAN. Konsultasi ini melanjutkan konsultasi sebelumnya pada 5-8 Agustus 2009 di komunitas adat Kasepuhan Sinar Resmi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
“Ada paradigma kalau pemerintah itu selalu benar. Kenyataannya tidak seperti itu. Banyak kasus di Indonesia yang menunjukkan kalau pemerintah-lah penyebab masalah pembangunan,” kata William.
REDD+ atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation merupakan inisiatif internasional untuk mengurangi emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Strategi nasional ternyata berbeda dengan konflik nyata di komunitas. Menurut William, tata perizinan yang amburadul menjadi tantangan untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan.
Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meminta supaya masyarakat adat memilki perwakilan dalam kelembagaan REDD+. Perwakilan masyarakat adat itu harus memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan dan bukan sekadar pengamat.
“No Rights, No REDD+ penting bagi kepastian hak-hak masyarakat adat, kepastian hak-hak tenurial dan pengelolaan wilayah, serta dukungan terhadap kearifan masyarakat adat sebagai alternatif solusi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Deputi urusan Politik, Hukum, dan Advokasi AMAN Mina Susana Setra.
Menurut Mina, bila hak-hak masyarakat adat tidak diakui dan dilindungi, maka masyarakat adat tidak akan mendukung REDD+. Ini adalah sikap konsisten AMAN di level internasional maupun lokal, dikenal dengan semboyan ‘No Rights, No REDD+’.
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan menyebutkan bahwa masyarakat adat rentan terhadap perubahan iklim.
“Sekitar tigapuluh persen masyarakat adat di nusantara tinggal di daerah-daerah yang rentan terkena dampak-dampak perubahan lingkungan, terutama yang di daerah pesisir,” kata Abdon.
Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Andiko Sutan Mancayo menyoroti sinkronisasi Strategi Nasional REDD+ dan masyarakat adat. Menurutnya, REDD+ dalam level normatif sudah sangat maju tetapi tidak secara riil politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat bukan lagi hutan negara perlu dipulihkan dengan peta wilayah adat. Hal ini sebagai bentuk implementasi putusan MK tersebut. Selain itu, dibutuhkan kebijakan pemulihan wilayah adat bersama kementerian-kementerian yang berperan sebagai aktor Strategi Nasional REDD+.
Sesi Ketujuh Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Isu-Isu Masyarakat Adat yang diselenggarakan pada 2008 merilis bahwa masyarakat adat termasuk kelompok yang pertama kali akan menghadapi konsekuensi langsung perubahan iklim. Ketergantungan dan kedekatan masyarakat adat dengan lingkungan dan sumber dayanya membuatnya dalam kondisi rentan. Padahal masyarakat adat bukanlah penyebab faktor-faktor perubahan iklim.
Editor : Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...