Tarikan Garis dan Warna dalam Joged Bumbung
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 40-an seniman yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia (SDI) Yogyakarta selama seminggu memamerkan karya seni rupa di ruang pamer Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH)-UGM.
Pameran yang berlangsung 23-29 November dengan tajuk "Tribute to the Maestro I Nyoman Gunarsa" sebagai dedikasi penghormatan atas segala sumbangsih pemikiran, dukungan materil moril Nyoman Gunarsa atas perjalanan seni rupa Indonesia di Yogyakarta. Salah satu buah pemikiran penting dari seorang perupa ‘bertangan emas’ I Nyoman Gunarsa adalah berdirinya Sanggar Dewata Indonesia (SDI) pada tahun 1970.
Pameran "Tribute to the Maestro I Nyoman Gunarsa" diselenggarakan oleh murid, kolega semasa menjadi dosen di FSR ISI Yogyakarta, dan para sahabat Nyoman Gunarsa diantaranya M. Dwi Marianto, A.B. Dwiantoro. Dua karya Nyoman Gunarsa turut pula dipamerkan.
Garis Saya Adalah Nyanyian, Warna Saya Adalah Tarian
Gunarsa menjadi pelukis yang tidak pernah melewatkan berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Ia melahirkan gaya yang mampu menjadi penanda perkembangan seni rupa modern Bali dan Indonesia. Gunarsa secara total menawarkan keterampilan teknik melukis ekspresif dekoratif dalam lukisan-lukisannya dengan tema-tema yang tetap, yakni kebudayaan Bali.
Sebagai rangkaian dari tribute, pada hari Sabtu (25/11) sore SDI menggelar kegiatan sketch on the spots di teras PKKH dengan mengundang rekan seniman dan masyarakat luas. Melengkapi sketch on the spots, SDI menampilkan Joged Bumbung untuk direspon visualnya ke dalam sketsa.
Joged Bumbung yang dalam satu tahun terakhir menjadi viral di media sosial karena menampilkan gerakan tari yang dianggap "miring", erotis, seronok, hingga mengarah pada porno-aksi dalam tatanan moral adat ketimuran, oleh SDI sengaja diangkat untuk mendudukkan kembali khasanah tari pergaulan tersebut dalam ranah kehidupan sehari-hari.
Joged Bumbung itu pula yang dipilih SDI untuk mengapresiasi dan penghormatan kepada Gunarsa. Kemampuan dan kekuatan menggaris Gunarsa dimaksimalkan dalam karyanya. Menikmati karya Gunarsa adalah menikmati olah garis yang memberikan karakter khas sebuah karya. Tidak salah bila ia sering berkata, “Garis saya adalah nyanyian, warna saya adalah tarian.”
"Joged Bumbung itu tarian pergaulan. Diadakan pada acara-acara sosial ataupun sesaat setelah panen. Sebagai bagian bentuk syukur atas apa yang telah diberikan-Nya," kata perupa Dewa Made Mustika. Orang tua Made Mustika merupakan penari tradisional Bali.
Di berbagai tempat di Indonesia terdapat banyak ragam tari pergaulan semisal tari Manasai (Kalteng), tari Tor-Tor (Batak), tari Ketuk Tilu (Sunda), tari Lengger (Banyumasan), tari Tayub (pantura Jawa Tengah), tari Gandrung (Banyuwangi), tari Begandrungan/Jejangeran (Lombok).
Dua penari perempuan dalam iringan musik gamelan Bali yang cenderung dinamis mengajak penonton untuk naik ke panggung menari bersama.
"Penari tidak menarikan satu jenis tari (Bali) tertentu. Seluruh gerakannya adalah improvisasi merespon musik pengiring yang sedang dimainkan. Hampir semuanya spontanitas. Tidak ada cerita seperti sendratari Ramayana misalnya," jelas Made Mustika.
Dalam sketch on the spots, SDI berusaha menghadirkan kembali Joged Bumbung sebagai salah satu representasi kecintaan Gunarsa pada nyanyian-tarian yang tervisualkan dalam sebuah karya seni rupa. Ada tarikan garis dan komposisi warna yang kuat di dalamnya, sekuat semangat Joged Bumbung dalam menyemai pergaulan yang setara di antara sesama. Bukan yang lain.
Editor : Melki Pangaribuan
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...