Tattoo Merdeka: Tersandung Masa Puber
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Memperingati hari Pahlawan, Gerombolan Tukang Tato Yogyakarta menggelar Tattoo Merdeka. Acara digelar pada Jumat (10/11) di Jogja National Museum (JNM) merupakan perhelatan yang keempat. Acara yang berlangsung sehari diawali dengan upacara bendera memperingati Hari Pahlawan yang dipimpin oleh Tisna Sanjaya, dosen pada Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, dilanjutkan dengan karnaval sepeda, dan tattoo charity, screening film, serta panggung seni di Pendapa Ajiyasa-JNM.
Pada sesi tattoo charity dengan mendonasikan per karya tato, hasil tattoo charity yang terkumpul dan donasi sukarela pengunjung selama acara akan didonasikan untuk kegiatan pembinaan bagi anak-anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo-Purworejo, Jawa Tengah.
Tidak seperti penyelenggaraan sebelumnya, perhelatan kali ini bersamaan dengan keikutsertaan komunitas Tattoo Merdeka pada pameran Biennale Jogja XIV di JNM. Karya dalam pameran tersebut mengangkat tema tentang proses hukum yang harus dijalani oleh anak-anak di bawah umur (13-17 tahun) di LPKA Kutoarjo-Purworejo, Jawa Tengah.
Project yang digarap oleh Tatto Merdeka saat kunjungan ke LPKA Kutoarjo dalam workshop seni kepada anak-anak di LPKA Kutoarjo berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Berbagai kegiatan workshop seni dilakukan mulai dari menggambar, melukis, dan membuat mural. Dalam setiap kunjungan sekali setiap minggunya yang berlangsung dari pukul 9 pagi hingga 12 siang anak-anak binaan LPKA Kutoarjo bersama Tatto Merdeka berkarya bersama.
Dari project kunjungan tersebut, sebuah karya menggabungkan instalasi dan mural di dinding lantai dua JNM dengan tajuk "Tersandung Masa Puber" dibuat oleh komunitas Tattoo Merdeka dalam nuansa yang gelap dan minim pencahayaan turut dipamerkan dalam pameran Biennale Jogja XIV-2017. Mural hitam dengan coretan-coretan yang menggambarkan kehidupan anak-anak di lembaga pembinaan khusus menyentak kesadaran kita bahwa anak sekecil itu harus menghadapi kenyataan dan konsekuensi hukum atas apa yang telah dilakukannya yang mungkin tidak dipahami atau disadarinya.
Memasuki ruang pamer, pengunjung dibawa dalam nuansa masa kegelapan di usia awal kehidupan manusia. Di dinding gelap lembaga pembinaan, ada emosi yang tercurah, ada trauma, kerinduan, penyesalan yang membuncah dalam perasaan anak-anak dan berkecamuk dengan cara yang sangat sederhana.
Di tengah ruang sebuah karya instalasi berupa perahu kayu dengan figur orang yang sedang dalam lelaku prihatin dimana untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemuliaan hidup harus melalui perjuangan dan proses yang berat dan kesusahan: turu kali, kasur wedi, bantal watu, kemulan toya.
Di atas perahu terpasang lonceng yang menjadi penanda bagi anak-anak yang "terpenjara" dalam setiap pergantian aktivitas: mulai dari bangun tidur, beraktivitas hingga, dan kembali masuk ruangan sel "terpenjara" menuju alam mimpi. Begitu kira-kira gambaran rutinitas anak-anak di lembaga pembinaan khusus.
Pada figur yang sedang tidur yang terbuat dari batu dengan harapan para ABH, dan dilapis dengan tanah liat sehingga seiring waktu tanah liat yang dialiri air akan rusak seiring munculnya batu-batu harapan baru.
Tersandung Masa Puber
Anak-anak yang harus mendekam "terpenjara" di LPKA Kutoarjo terjerat hukum karena berbagai hal, mulai dari kondisi keluarga dan lingkungan sosial, akses terhadap teknologi informasi yang disalahgunakan (sebagian besar karena pornografi dan laku penyimpangan seksual), hingga desakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Mereka harus menghadapi konsekuensi atas hal-hal yang barangkali belum sepenuhnya mereka pahami dan sadari.
Tanpa pendampingan orang tua maupun kerabat terdekat memunculkan rasa rindu untuk pulang yang kuat. Hal-hal yang biasanya menjadi bagian dari kesehariannya menjadi jauh dan digantikan oleh suara lonceng yang ditunggu untuk makan dan keluar ruangan. Perasaan asing, jauh, dan dingin ini kemudian merayap ke kondisi psikologis anak-anak, menimbulkan konflik antara keinginan untuk pulang dan ketakutan akan penerimaan lingkungan asal mereka.
Mereka dipaksa untuk merasa bersalah atas hal-hal yang mungkin belum mereka pahami menurut hitam dan putih prosedur hukum yang diterapkan. Perasaan bersalah yang membuat mereka merasa bahwa mereka tidak akan diterima kembali ke lingkungan asalnya jika mereka belum berlaku sebagaimana seharusnya.
Rasa terasing, penyesalan, beragam perundungan yang dialami anak-anak di dalam LPKA menimbulkan trauma berkepanjangan serta ketakutan menatap masa depan. Beragam pertanyaan mungkin selalu hinggap dibenaknya: Apakah keluarga dan teman-teman akan menerima mereka kembali? Apakah mereka bisa bekerja dan menjadi bagian dari masyarakat nantinya? Apakah mereka bisa mendapatkan pasangan hidup kelak? Kekhawatiran tersebut kerap muncul dalam kelakar, keisengan, dan candaan mereka menghadapi kenyataan tersebut. Sebuah narasi satire kehidupan anak-anak yang mungkin akan menimbulkan pengalaman dan dampak psikologis yang lain lagi.
Lonceng sebagai penanda waktu akan menjadi traumatik tersendiri bagi anak-anak yang "terpenjara" dalam setiap pergantian aktivitas: bangun tidur, mandi, berkaktivitas di dalam LPKA, mandi, masuk ruangan sel, dan kembali "terpenjara" menuju alam mimpi. Begitu setiap hari mereka lalui hingga hari pembebasan datang. Waktu adalah hal yang benar-benar harus mereka hadapi sekarang. Kenyamanan yang didambakan saat tidur sebagai sarana untuk melepaskan beban kini juga beralih dengan kenyataan bahwa tubuhnya sedang terpenjara. Segala kenyamanan itu semua kemudian menjadi semu, tidak seperti yang mereka harapkan, tetapi harus tetap diterima. Trauma-trauma itu akan terbawa untuk waktu yang entah kapan hilang dalam ingatannya.
Anak-anak merupakan masa depan bangsa dan menjadi generasi penerus cita-cita bangsa. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan, mendapatkan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, dan mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Di mana pun, kapan pun.
Anak-anak yang terpenjara, mereka adalah anak-anak kita yang bisa jadi menjadi korban keegoisan manusia dewasa. Tidak ada satu anak pun ingin terlahir "terpenjara" karena sesungguhnya dunia anak-anak adalah adalah dunia yang merdeka menyongsong hari depan. "Sandungan" pada masa puber yang dihadapinya adalah tanggung jawab manusia dewasa untuk menyingkirkannya atau membimbing mereka menghindarinya melalui jalan lain yang aman. Dan saat mereka "terjatuh", adalah tugas manusia dewasa mengajak mereka bangkit lagi menyongsong hari depan yang masih panjang. Bukan justru membebani dan menguburnya dalam ribuan stigma tanpa solusi.
Jika masih terus bertambah anak-anak yang harus terpenjara, sesungguhnya ada yang sakit dalam diri masyarakat kita: akut dan telah berlangsung lama. Mengobatinya: kembalilah menjadi manusia yang mau melihat, mau mendengar, dan mau berbuat bagi sesama. Bukan yang lain.
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...