Teknologi Baru untuk Lacak Posisi Pesawat Terbang
OHIO, SATUHARAPAN.COM - Tahun 2014 bukanlah tahun yang baik bagi keselamatan penerbangan, karena dua pesawat berbadan lebar jatuh ke laut, bersama 401 penumpang dan awak pesawatnya, karena penyebab yang belum jelas. Terakhir adalah AirAsia yang beberapa saat hilang kontak, tidak terdeteksi dan dipastikan jatuh setelah korban serta puing pesawat ditemukan.
Dalam kedua kasus itu, komunikasi dengan pesawat tiba-tiba hilang, sebelum pilot-pilot itu sempat melaporkan permasalahannya. Pesawat-pesawat yang melakukan penerbangan melewati laut dan jauh dari daratan berada di luar jangkauan radar dan sistem radio di darat.
Komunikasi satelit dan teknologi navigasi seperti Global Positioning System (GPS) dan telepon satelit, memungkinkan komunikasi dengan pesawat udara dan menentukan lokasinya.
"Alasan mengapa kita tidak mempunyai teknologi ini di semua tempat adalah biaya," kata Michael Braasch, seorang guru teknik elektronika dari Universitas Ohio.
“Kemampuan mengirim pesan-pesan melalui penyedia komunikasi satelit memerlukan biaya dan sampai belum lama ini tidak ada kebutuhan mendesak untuk dapat melacak pesawat dari detik ke detik,” kata Michael Braasch.
Pilot-pilot diwajibkan melaporkan posisinya secara berkala, sehingga Pengawas Lalu-lintas udara atau Air Traffic Control (ATC) dapat terus mengetahui lokasi mereka. Namun, Dalam keadaan darurat yang memerlukan keputusan cepat, seringkali pilot tidak punya waktu untuk menelepon.
Pada awal Desember, Persatuan Transportasi Udara Internasional menerbitkan sebuah laporan yang menganjurkan, setiap pesawat dilengkapi dengan sebuah sistem yang melaporkan posisi pesawat tanpa keterlibatan pilot. Braasch mengatakan, sebagian maskapai penerbangan anggota organisasi itu enggan menerapkan anjuran itu.
“Umumnya adalah karena alasan tambahan biaya dan keharusan memasang sistem yang disetujui. Secara teknologi, tidak ada masalah. Ada sistem navigasi berdasar satelit semacam GPS, ada teknologi komunikasi satelit selama lebih dari 20-25 tahun,” katanya.
Selain itu, sebagian pilot berkeberatan jika ada sistem elekronik mandiri di pesawatnya yang tidak bisa dimatikan jika terjadi kebakaran. Sejauh ini, hanya alat perekam data penerbangan yang disebut “kotak hitam” yang tidak dapat dikontrol pilot.
Braasch mengatakan, setelah bencana pesawat Malaysia Airlines bulan Maret lalu, jelas bahwa sesuatu harus dilakukan.
“Kita kehilangan sebuah pesawat berbadan lebar, dan kita tidak tahu pesawat itu berada di mana dan dalam dunia sekarang ini, itu benar-benar tidak masuk akal,” katanya.
Amerika dan Eropa, sedang bersiap-siap untuk menerapkan sebuah sistem yang disebut Automatic Dependent Surveillance - Broadcast (ADS-B), yang didesain untuk mengirim posisi pesawat secara berkala, kepada pengawas lalu lintas udara dan pesawat-pesawat lain di dekatnya.
Sistem itu akan diwajibkan bagi sebagian pesawat di Eropa selambat-lambatnya tahun 2017 dan di Amerika selambat-lambatnya tahun 2020. (voaindonesia.com)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...