Teolog: Yesus Tidak Lahir di Kandang Domba
Yesus tidak lahir di kandang domba dalam sedih dan kesepian, melainkan di dalam rumah dikelilingi oleh keluarga dan handai tolan.
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Yesus tidak lahir di kandang domba sebagaimana sering dikisahkan dan ditampilkan dalam berbagai dramaturgi perayaan Natal.
Yesus juga tidak lahir dalam keadaan kesepian, terbuang dari orang-orang yang mengasihinya, sebagaimana umumnya diajarkan pada anak-anak Kristen bahkan orang dewasa.
Sebaliknya, Yesus lahir di dalam rumah, dikelilingi oleh sanak saudara yang mengasihi dia dan keluarganya.
Dua teolog mengemukakan hal ini secara terpisah. Yang pertama, Ian Paul, seorang teolog dari Inggris yang telah mempelajari alkitab dalam bahasa Yunani kuno. Ia menjelaskan pendapatnya tersebut pada blognya, 24 Desember lalu, melalui tulisan berjudul Jesus really wasn’t born in a stable.
Teolog kedua, Joas Adiprasetya, ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta yang juga pendeta GKI Pondok Indah. Ia menuliskannya dua tahun lalu, melalui sebuah tulisan berjudul Natal Perdana, Ruang Keramahtamahan dan ia bagikan lagi melalui akun facebooknya pada 15 Desember lalu.
"Saya minta maaf telah merusak persiapan Anda menyambut Natal...namun Yesus tidak lahir di kandang domba dan anehnya, Alkitab Perjanjian Baru bahkan tidak mengisyaratkan bahwa itu terjadi," tulis Ian Paul dalam blognya yang bertajuk Psephizo.
"Gagasan bahwa mereka berada di sebuah kandang, jauh dari orang lain, sendirian dan terbuang, secara tata bahasa dan budaya tidak masuk akal," lanjut dia.
Menurut Paul, Yusuf dan Maria melakukan perjalanan ke Betlehem untuk mengikuti sensus Romawi. Di kampung halamannya itu, sesuai dengan adat zaman itu, semestinya mereka berencana tinggal dengan kerabat di rumah mereka. Pada masa itu rumah umumnya terdiri dari dua kamar - ruang utama untuk keluarga dan ruang yang lebih kecil untuk tamu.
Ada pun tempat domba lazimnya berada di tingkat yang lebih rendah, dan palungan biasanya penuh berisi jerami untuk makanan ternak.
Berdasarkan bukti-bukti injil dan studi budaya Israel Kuno, Paul menegaskan tidak sependapat dengan terjemahan kisah Injil yang mengatakan Yusuf dan Maria ditolak dari rumah penginapan yang penuh sesak dan karena itu terpaksa mencari persinggahan di sebuah kandang menyedihkan tempat Yesus dilahirkan.
Menurut Paul, pengisahan yang demikian itu tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan budaya zaman itu. Ia mengatakan munculnya versi kisah yang demikian karena ada kekeliruan penerjemahan kata 'Kataluma" dari bahasa Yunani Kuno.
Dia berpendapat bahwa kataluma telah secara keliru diterjemahkan menjadi tempat penginapan. Padahal arti yang lebih pas adalah ruang tamu.
Menurut dia, ketika Yusuf dan Maria tiba di tempat kerabat mereka di Betlehem, ruang tamu sudah penuh, karena mereka datang terlambat dibanding kerabat yang lain. Itu sebabnya pasangan itu tidak ditempatkan di kataluma yang sudah penuh melainkan di ruang keluarga. Disanalah mereka berada bersama-sama dengan tuan rumah.
Yusuf dan Maria Disambut Hangat
Paul melanjutkan, Yusuf pada masa itu mestinya menjadi seorang selebriti ketika pulang ke kampung halamannya, Betlehem. Ia adalah keturunan dari Raja Daud. Betlehem sendiri dinubuatkan sebagai Kota Daud, tempat akan lahirnya seorang mesias. Jadi seharusnya ia disambut dengan tangan terbuka, bahkan seandainya tidak banyak lagi yang mengenalnya. Dengan menyebut silisahnya, menurut Paul, semestinya Yusuf tidak akan mendapat penolakan.
"Maka akan tidak terpikirkan bila Yusuf yang kembali ke tempat leluhurnya, tidak diterima oleh anggota keluarga, bahkan seandainya pun mereka bukan kerabat dekat," tulis Paul.
Jadi, menurut Paul, Yusuf dan Maria berada di ruang utama rumah itu sampai Maria melahirkan, dikelilingi oleh keluarga. Pada saat yang sama, menurut Paul, tempat yang paling alami untuk meletakkan bayi yang baru lahir itu adalah pada palungan berisi jerami di tingkat bawah, tempat biasanya para domba diberi makan.
Untuk mendukung pendapatnya ini, Paul mengutip sejumlah literatur, termasuk karya Kenneth E. Bailey berjudul Jesus Through Middle Eeastern Eye, yang memberinya landasan budaya Palestina dalam memahami rumah tempat Yesus dilahirkan.
Paul juga menyandarkan pendapatnya pada sebuah paper akademis yang terbit pada tahun 2010, yang ditulis oleh Stephen C. Carlson yang berjudul The Accomodation of Joseph and Mary in Betlehem: Kataluma in Luke 2:7.
Ruang Tamu Penuh
Dengan penjelasan yang lebih lugas, Joas Adiprasetya mengatakan bahwa penelusuran lebih seksama akan kisah Natal, khususnya versi Lukas, menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kataluma lebih berarti ”ruang tamu” atau ”ruang atas” ketimbang penginapan. Doktor teologi dari School of Theology Boston University, AS ini mengatakan dalam Injil Lukas yang dipakai untuk menyatakan penginapan adalah pandoceion.
Joas menambahkan, pada masa itu sudah menjadi kelaziman jika seorang perantau mendatangi rumah sanak-saudara mereka. Demikian pula dengan Yusuf dan Maria yang pulang ke Betlehem demi mengikuti sensus. "Sangat mungkin mereka mendatangi rumah seorang kerabat, sama seperti banyak kerabat lainnya. Dan bisa dibayangkan bahwa Maria dan Yusuf tiba terlambat, karena kehamilan Maria yang membuat perjalanan mereka tersendat," tulis Joas.
Dengan demikian, kata Joas, rumah kerabat itu bisa jadi telah terlebih dahulu disinggahi oleh saudara-saudara yang lain. Mereka semua sedapat mungkin ditampung di ruang tamu atas (kataluma). Itu sebabnya—sebagaimana dikatakan dalam Lukas 2:7, tidak ada tempat bagi mereka di "kataluma" atau ruang tamu atas.
Maka, lanjut Joas, bisa dibayangkan betapa bingungnya tuan dan nyonya rumah. Sepasang sejoli muda datang terlambat, sementara rumah mereka telah penuh sesak. Dan, bukan hanya itu, si perempuan muda itu mengandung tua dan siap melahirkan.
Berbeda dengan Paul yang membayangkan Maria melahirkan di ruang utama tempat para keluarga berkumpul, Joas menduga tuan rumah mempersilakan Yusuf dan Maria ke tempat yang lebih tenang.
"Saya membayangkan, akhirnya, dengan seluruh pertimbangan itu, si pemilik rumah, kerabat Yusuf itu, berusaha memberikan ruangan yang terbaik, yang terpisah dari kamar tamu yang telah penuh sesak itu," tulis Joas.
"Sesuai dengan bentuk-bentuk rumah orang Yahudi pada masa itu, satu-satunya kemungkinan adalah menempatkan Yusuf dan Maria di ruangan bawah. Tak ada pilihan lain. Sekalipun itu bukan ruang tamu (kataluma), sekalipun di sanalah mereka biasa menjaga ternak mereka di waktu malam (dan karena itulah terdapat palungan)."
Kisah Natal bukan tentang Penolakan
Berdasarkan kisah ini, menurut Joas, kisah kelahiran Yesus bukanlah sebuah teks tentang penolakan dan ketersisihan, namun justru tentang penerimaan.
"Bukan hostility, namun hospitality—sebuah tindakan etis menerima orang asing (stranger) sebagai tamu (guest), bahkan sahabat (friend)," kata dia.
Dan itu pulalah yang dialami oleh Yusuf, Maria dan Yesus. "Artinya, di tengah kisah-besar kekuasaan digdaya kekaisaran Romawi yang sangat dingin dan kejam itu, Natal perdana mempertontonkan sebuah kisah-kecil keramahtamahan yang penuh kehangatan. Ternyata, kemanusiaan masih memiliki sisa kekuatan untuk menghadirkan kebajikan," kata Joas.
"Dalam kisah Natal, Yesus tidak bersedih dan kesepian, terpisah di dalam kandang dan membutuhkan simpati kita. Dia berada di tengah keluarga dan kerabat yang berkunjung. Seharusnya ini secara fundamental mengubah pendekatan kita dalam menceritakan peristiwa kelahiran," simpul Ian Paul.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...