Terbukti, “Mitos” Kurikulum Pendidikan di Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Kebenaran Mitos “ganti Menteri ganti kurikulum” kembali terbuktikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, mengeluarkan keputusan atau peraturan yang membatalkan Kurikulum 2013 (K13) dan memberlakukan kembali Kurikulum 2006. Ketetapan Menteri itu tertanggal 11 Desember 2014, atau baru genap satu semester K13 itu diberlakukan. Dalam peraturan menteri itu, ditetapkan bahwa K13 dibatalkan dan diganti dengan penggunaan Kurikulum 2006. Namun juga disebutkan bahwa Kurikulum 2006 dipergunakan hanya sampai tahun ajaran 2019/2020 dan K13 masih dapat digunakan oleh 6.221 sekolah yang sudah menerapkannya. (Lihat Peraturan Mendikbud No. 160 Tahun 2014).
K13 adalah kurikulum untuk pendidikan dasar dan menengah atau dari tingkat SD sampai SMU/SMK. Hal mengganti kurikulum tampaknya begitu mudah dilakukan. Betapa tidak, hanya berkisar sebulan pimpinan Kementerian itu berganti dengan dilantiknya menteri yang baru, sang menteri sudah mengeluarkan keputusan pembatalan itu. Jadi benarlah mitos “ganti Menteri ganti kurikulum”.
Pembatalan itu sebagaimana terungkap disebabkan kekurangan K13 yang bukan “ecek-ecek” dan sedikit. Di samping masalah teknis seperti distribusi buku yang belum merata, ada persoalan yang sangat substansial. Diskusi bertemakan “Mendudukkan Persoalan dan Mencari Solusi Kurikulum 2013” yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Jumat, 12 Desember 2014, merekomendasikan bahwa K13 hendaknya dihentikan dan dilakukan revisi. Ini karena K13 memiliki banyak kekurangan seperti kerangka dasar, isi atau materi, kemampuan guru, distribusi buku, kurangnya persiapan guru dan penerapan yang terburu-buru. (Kompas, Senin, 15 Desember 2015).
Persoalan Pembatalan dan Penggantian Kurikulum
Pembatalan K13 yang baru berlaku satu semester atau berlaku mulai Agustus 2014 sudah pasti mengakibatkan berbagai kerugian. Pertama, dana yang dikeluarkan negara atau kementerian dalam menghasilkan kurikulum itu tidaklah sedikit. Buku yang telah dicetak untuk digunakan berjumlah 245 juta. Juga, tidak sedikit dana yang digunakan untuk penelitian dan proses penulisan kurikulum itu. Total dana yang dihabiskan untuk proyek K13 adalah 2.5 triliun rupiah. Tambahan lagi, untuk kembali ke kurikulum 2006, tentu ada anggaran yang diperlukan seperti untuk pencetakan buku dan pelatihan guru. Kebutuhan dana serupa juga ada ketika pemerintah melakukan revisi atau perubahan terhadap K13.
Kedua, kekurangan dalam penerapan K13 berakibat utamanya yaitu kebingungan bukan saja pada murid tetapi guru juga. Ini memengaruhi mentalitas dan atau kejiwaan para guru dan siswa dalam proses belajar-mengajar. Ini karena pembekalan terhadap dan lalu kualitas guru masih sangat tidak memadai. Proses belajar-mengajar menjadi tidak efisien dan efektif. Akibatnya hasil pendidikan tidak sesuai dengan harapan.
Ketiga, citra pendidikan kita makin terpuruk. Juga, wibawa pemerintah sebagai penentu kebijakan pendidikan tentu direndahkan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah khususnya Kemendikbud tidak serius atau tidak kompeten dalam mengurusi kurikulum pendidikan.
Gonta-Ganti Kurikulum, Gejala Ketidakmapanan
Pembatalan K13 yang sedang digunakan dan diganti dengan kurikulum 2006 menunjukkan bahwa pembuat kebijakan kurikulum itu tidak yakin pada kebenaran, kebaikan dan ketepatan manfaatnya. Ini merupakan alasan yang ideal dan bisa diterima karena alasannya bersifat prinsipil atau substantif. Sekalipun demikian, pertanyaan tetap perlu disampaikan: mengapa kurikulum, hal yang sangat penting bagi pendidikan dan yang telah menghabiskan anggaran negara begitu besar masih memiliki banyak sekali kekurangan, sehingga harus dibatalkan. Apakah betul bahwa Kemendikbud tidak punya kompetensi? Apa yang dikerjakan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (PKP) Kemendikbud?
Indonesia memiliki sangat banyak pakar dan akademisi, doktor dan profesornya, dan mungkin terbanyak di dunia, karena memang sangat murah dan mudah mendapatkannya. Namun mengapa kurikulum yang dihasilkan selalu penuh kekurangan yang tampaknya “dijadikan” peluang untuk perbaikan atau diganti jika Menteri-nya berganti. Apa gunanya PKP jika ternyata hasil lembaga yang tentu berisi pakar-pakar ini tidak terpakai? Ketidakmampuan itu menunjukkan gejala yang tidak baik dalam dunia pendidikan kita. K13 itu ternyata masih dijadikan bahan percobaan dan sarana untuk belajar dari para pakar itu. Kalau begitu, pantaskah mereka disebut pakar atau pun professor?
Ini mirip dengan keberadaan demokrasi dan kepemimpinan negara kita, baik pada wakil rakyat maupun pemerintah. Masih segar dalam ingatan, Penetapan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau UU MD3 yang dihasilkan oleh DPR dengan isi antara lain Pemilukada melalui DPRD dan ditandatangani oleh Presiden SBY. Namun anehnya, pada hari yang sama SBY menandatangani Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu yang menolak UU MD3 itu dan menyetujui Pemilukada langsung. Ini menunjukkan ketidakmapanan berpikir dan bertindak. Memang politik selalu cair dan berbentuk sesuai kepentingan dan keuntungan politis. Namun jika cara berpolitik sangat tidak sesuai dengan logika atau akal sehat maka cap labil, tidak dewasa, kekanak-kanakan akan pantas diberikan kepada pemerintah demikian.
Adalah hal yang tidak baik jika perubahan dilakukan oleh pemerintah yang baru hanya karena kurikulum itu bukan hasil kerja pemerintahannya. Atau karena sentimen politik bahwa yang menghasilkan kurikulum itu adalah rezim pemerintah yang menjadi lawannya. Yang tidak baik juga adalah perubahan kurikulum dilakukan dengan terencana, terstruktur dan berlangsung secara berkala karena ada kepentingan keuntungan finansial. Ada sinyalemen dalam masyarakat bahwa gonta-ganti atau revisi kurikulum disengaja. Ini karena penyusunan kurikulum sudah dijadikan proyek dan “obyekan” rutin pihak-pihak tertentu. Benar-tidaknya sinyalemen itu, citra pemerintah sudah buruk. Karena itu pemerintah perlu membuktikan kesalahan persepsi masyarakat itu dengan transparansi penggunaan anggaran.
Banyak pertimbangan penting untuk terbentuknya kurikulum yang bermutu. Perlu penelitian dan evaluasi terhadap kurikulum yang sedang berlaku. Perlu perbandingan dengan negara lain. Perlu waktu yang cukup untuk menyusunnya. Perlu masukan dari banyak ahli pendidikan dan multi-disipliner. Semoga K13 yang akan direvisi menjadi lebih baik, benar dan tepat bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...