Teritip Terkenal Sebagai Hama tetapi Menyimpan Banyak Potensi
BERLIN, SATUHARAPAN.COM – Teritip banyak ditemukan menempel di pantai dan dianggap sebagai hama. Di Berlin, Jerman, Pipit Pitriana, sedang menyusun taksonomi teritip sebagai landasan untuk menguak potensi hewan yang di Indonesia masih jarang diteliti ini.
Ribuan sampel teritip yang diawetkan di alkohol memenuhi ruang kerja Pipit Pitriana di Museum Ilmu Alam di pusat Kota Berlin. Satu per satu, teritip ini diteliti dari segi morfologi, filogeografi, populasi genetik, ekologi, dan molekular DNA, oleh pakar biologi laut asal Bandung yang sedang mengambil S3 di bidang taksonomi integratif ini.
Teritip adalah hewan dari kelompok udang-udangan (crustasea), yang sering dianggap sebagai anggota kelompok kerang-kerangan (mollusca), karena memiliki cangkang yang keras. Dalam tahap larva, teritip hidup bebas di perairan laut dan pada tahap dewasa menjadi organisme sesil yang menempel di berbagai permukaan keras, dan menetap di sana sesisa hidupnya. Di perairan dangkal teritip banyak ditemukan menempel di bebatuan, tiang-tiang dermaga, atau badan kapal.
Memanfaatkan Keanekaragaman Hayati Indonesia
“Karena menempel di tempat-tempat yang tidak diinginkan, teritip paling terkenal sebagai biofouling. Tetapi kegunaan dari teritip itu banyak dan banyak orang yang tidak tahu, karena itulah penting penelitian di bidang teritip itu. Dan data teritip di Indonesia belum ada sama sekali.” kata Pipit Pitriana, yang dilansir dw.com, pada Sabtu (18/1).
“Kalau kita sudah punya database lengkap, kita bisa tahu jenis-jenis teritip apa saja yang kita punya di Indonesia dan setiap jenisnya itu kita bisa teliti terkait kegunaannya, kerugiannya, atau apa potensi yang dimiliki per spesies itu,” kata peneliti yang di Indonesia bertugas di LIPI Ambon itu.
Sejak tahun 2012 Pusat Keanekaragaman Hayati Museum Ilmu Alam Berlin atau Zentrum fur integrative Biodiversitatsentdeckung, bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), untuk meneliti keangekaragaman hayati di seluruh Indonesia, dengan tujuan mencari kemungkinan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya hayati secara berkelanjutan.
Di tempat itu penelitian Pipit Pitriana berfokus terhadap taksonomi integratif dan sistematik teritip di Kepulauan Maluku, yang merupakan salah satu hotspot biodiversitas dunia.
Lebih dari 100 Jenis Teritip di Indonesia Timur
Dalam menyusun taksonomi integratif dan sistematik teritip, Pipit memulai penelitian dengan melakukan observasi detail terhadap morfologi teritip, yang terdiri atas cangkang dan bagian tubuh lunak seperti umbai dan bentuk mulut, yang merupakan karakter kunci dalam menentukan jenis teritip.
Observasi itu dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dan mikroskop stereo. Tidak seperti dalam ilmu taksonomi tradisional, taksonomi integratif juga melibatkan analisis molekular DNA, untuk membentuk filogeni atau pohon kekerabatan.
“Analisa DNA berguna karena selain mengetahui kekerabatan dari jenis-jenis teritip, kita juga bisa mengetahui asal muasalnya. Misalnya spesies tertentu hanya ada di suatu daerah, maka itu bisa menjadi dasar agar daerah itu dijadikan daerah konservasi atau daerah yang wajib dilindungi oleh pemerintah,” kata Pipit.
Dari 2000 sampel dari Kepulauan Maluku yang diteliti Pipit sejak awal tahun 2018, sampai sekarang sudah ditemukan lebih dari 100 jenis teritip berbeda, seperti Yamaguchiella coerulescens, Chthamalus moro, dan Lepas anserifera.
Sejumlah 23 di antara jenis yang sudah ditemukan adalah spesies yang baru pertama kali tercatat di Kepulauan Maluku. Penelitian taksonomi yang merupakan dasar ilmu biologi itu juga bertujuan untuk memberi manfaat bagi sektor-sektor lain seperti industri, teknik dan kedokteran.
Dari Lem Alami sampai Sumber Makanan
Salah satu jenis teritip yang sekarang sedang giat diteliti di Jerman dan Austria adalah Dosima fascicularis yang terkenal sebagai superglue laut, karena sekretnya yang sangat kuat.
Teritip yang juga dikenal sebagai teritip pelampung dengan struktur selnya yang berpori ini juga berpotensi untuk digunakan dalam bidang kedokteran dan teknik, misalnya sebagai shock absorber atau model perkembangan sel.
Dengan melibatkan kajian biogeografi, hewan kosmopolit ini nantinya juga bisa dijadikan indikator perubahan iklim global.
“Teritip bisa hidup di mana pun, dari Arktik sampai tropis, dari dingin sampai panas, dari laut dangkal sampai laut dalam. Teritip juga bisa menjadi indikator perubahan iklim,” kata Pipit Pitriana.
“Jika jenis teritip yang biasanya hidup di iklim dingin ditemukan di daerah beriklim hangat, ini merupakan indikasi bahwa daerah tersebut mungkin terkena dampak dari pemanasan global,” katanya.
Dengan perairan Kepulauan Maluku yang sangat jernih, Pipit juga melihat potensi teritip Indonesia Timur untuk dibudidayakan sebagai bahan makanan eksotis, yang nantinya bisa diekspor, seperti yang sudah dilakukan oleh Jepang dan Korea.
Penelitian lebih lanjut terkait pencegahan menempelnya teritip di berbagai permukaan juga bisa membantu dalam kesuksesan penanaman pohon bakau, yang selama ini banyak terganggu karena teritip yang menempel di akar-akar tanaman bakau muda.
“Jika kita mengenal organisme yang kita punya, maka kita pun dapat mengetahui kegunaan atau potensi makhluk hidup tersebut sekarang atau di masa depan,” kata Pipit Pitriana.
“Ahli taksonomi dan sistematik di Indonesia masih sangat, sangat sedikit. Oleh karena itu, jika saya kembali bertugas di Indonesia, saya ingin membagikan ilmu taksonomi yang saya dapatkan di sini dan saya berharap di masa mendatang akan muncul ahli-ahli taksonomi dari Indonesia dan menguasai hewan, tumbuhan, dan semua makhluk hidup yang ada di Indonesia,” katanya.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...