Terjun Bebas Pendidikan Indonesia
Pergantian jajaran Menteri terakhir dirasa mengejutkan, karena salah satunya Anies Baswedan harus mundur dari jabatan Mendiknas. Padahal ia baru saja meletakkan dasar-dasar bagi visi pendidikan yang jauh menjangkau ke depan.
SATUHARAPAN.COM - JDERRR!!! Petir menggelegar di tengah pelesir musim semi dunia pendidikan Indonesia.
Bukan tanpa sebab penulis menyebut bahwa dunia pendidikan Indonesia baru saja melalui semacam pelesir musim semi. Seusai dua periode kementerian yang sukses menorehkan berbagai masalah dalam dunia pendidikan (dasar), – kesenjangan infrastruktur pendidikan, carut-marut penyelenggaraan UN, carut marut Sertifikasi Guru – pendidikan Indonesia di era Kabinet kerja dibuka dengan revolusi yang radikal, atau menyitir istilah yang kerap digunakan ilmuwan filsafat Rocky Gerung, menghujam mendalam ke akar.
Anies Baswedan, sang Menteri Pendidikan yang dipilih untuk menahkodai biduk pendidikan melangkah dengan orientasi yang sangat bertolak belakang. Pertama, Tidak hanya merevaluasi peran UN, pelaksanaan UN cetak yang di tahun periode seblumnya dibumbui dugaan pelencengan dana pencetakan sukses ditransformasi menjadi UN Elektronik, dengan pelaksanaan mencakup baik sekolah domestic dan SPK se-Indonesia. Kedua, beliau merevitalisasi pengembangan berkelanjutan trias pelaku pendidikan –Pelajar-Orang Tua-Guru Kepala Sekolah; terutama terhadap peran dan fungsi Orang Tua. Langkah ini diawali dengan pembentukan Direktorat Keorangtuaan dalam struktur Dinas Pendidikan Nasional, dan tentu saja yang paling gres adalah penerapan dan sosialisasi gencar #HariPertamaSekolah TA 2016/17; di mana beliau melalui DikNas mengajak orang tua mendampingi hari pertama putri-putra masuk sekolah.
Terlalu halus apabila periode 20 bulan ketika semua perubahan tersebut diproses dan berhasil disebut sebagai bulan madu, karena yang datang selanjutnya bukan friksi dan bukan sekedar awan mendung. Petir, geledek, dan tornado penghancuran, yang ironisnya melempar Anies dari dunia yang ia pendidikan (dasar) yang ia hidupi (selain jabatan struktural di salah satu universitas swasta, rekam jejak Anies yang begitu monumental dalam dunia pendidikan dasar Indonesia adalah inisiasi dan keberlangsungan Gerakan Indonesia Mengajar).
Pendidikan Sebagai Manifestasi Kehendak, bukan Komoditas.
Dalam kuliahnya di Youtube “Merubah Paradigma” (Changing Paradigm), aktivis pendidikan Inggris Sir Ken Robinson secara tajam menelaah bagaimana Revolusi Industri sukses membentuk prosedur pelaksanaan sekolah, bahkan hingga abad ini.
Prosedur-prosedur sekolah yang bersemangatkan nafas (buruh) industri tersebut mencakup hal esensial dari sistem kelas atau tahun (batch) dan kurikulum yang berfokus kepada ilmu eksakta, matematika, dan ekonomi bisnis, hingga rutinitas-rutinitas kecil semacam berbaris sebelum masuk kelas dan bel tanda masuk/istirahat/pulang. Perubahan-perubahan di atas memang tepat memenuhi kebutuhan era Industri akan individu-individu terampil, namun lebih lanjut sebagaimana pedagog-pedagog sebelumnya dan semasanya Sir Ken Robinson mempertanyakan apakah metode ini tepat bagi pelajar-pelajar muda dan generasi saat ini?
Bukan tanpa sebab penulis mengangkat kembali pertanyaan Sir Ken Robinson, karena tepat setelah pergantian Mendiknas terbuka alasan pergantian tersebut. Pertama adalah penggalakkan pemerataan Kartu Indonesia Pintar, dan kedua adalah penggalakkan peningkatan kualitas lulusan SMK. Pada alasan yang pertama kita lihat bahwa pendidikan disamakan dengan akses kepada pendidikan, pada alasan kedua kita lihat bahwa fokus pendidikan ditujukan kepada pembentukan generasi terampil siap kerja. Kedua alasan ini secara konseptual berada dalam ranah sosio-ekonomis, dan bukan ranah pedagogi (pendidikan, pembelajaran, dan pengembangan manusia seutuhnya).
Pengaturan Kartu Indonesia Pintar bila mengacu kepada referensi maya dipegang oleh Kemendikbud dan Kemenag. Namun bila kita mengacu kepada penjabaran laman Tim Nasional Percepatan Penanggulan Kemiskinan (TNP2K), maka kartu berguna sebagai ATM Beasiswa bagi murid-murid dari keluarga kurang mampu. Apakah tepat bahwa tanggung jawab pemerataan kemampuan ekonomis peserta didik dibebankan kepada departemen yang mengurus mengenai pelaksanaan pendidikan?
Sungguh ironis karena sebenarnya Anies Baswedan telah menjawab bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tergantung kepada ketersediaan guru berkualitas dan kelayakan hidup bagi guru tersebut bukan kemampuan ekonomi murid. Gerakan Indonesia Mengajar yang ia gagas dan tumbuh-kembangkan telah membuktikan hipotesa ini, Gerakan ini berfokus menyediakan dan menghidupi guru-guru berbasis Sarjana-Sarjana baru untuk mengajar ke lokasi-lokasi terbelakang di Indonesia, bahkan sebelum ada wacana bernama Kartu Indonesia Pintar.
Apabila alasan pertama menjadi senjata makan tuan akan rendahnya perhatian pemerintah terhadap nilai dasar pendidikan, alasan kedua menegaskan bagaimana pemerintah sedang berusaha keras mengejar pemasukan belanja negara. Dalam 1.5 tahun pertama Kabinet Kerja, Jokowi mengeluhkan lemahnya belanja negara, 6 bulan terakhir pemerintah menggelorakan mengenai Amnesti Pajak. Semuanya terkait dengan investasi kapital di dan oleh warga negara Indonesia. Secara nalar, peningkatan kualitas lulusan SMK berarti penyiapan tenaga-tenaga kerja terampil produktif yang berpotensi memberikan pemasukan pajak bagi negara karena mereka akan diserap oleh pabrikan-pabrikan bentukan investor.
Ketika Anies dan kita semua berjuang mengabarkan bahwa kemajuan dan perkembangan adalah sejauh kehendak individu dan kita, pemerintah justru mengingatkan bahwa kemajuan dan perkembangan individu adalah sesuatu yang masiih terlalu mahal bagi Indonesia. Sebegitu mahalnya sehingga setiap peserta didik kurang mampu membutuhkan KIP.
Seruan
Dengan segala hormat penulis menutup tulisan ini dengan aduan kepada para Menteri berikut karena di tangan merekalah pelaksanaan program-program pendidikan nasional diatur. Pandanglah aduan saya seperti jeritan mereka yang trauma akan bagaimana pendidikan Indonesia diatur oleh teknokrat yang menyamakan permainan belajar dengan kelulusan ujian dan ijazah sarjana.
Kepada bapak Muhadjir Effendy, selamat atas tanggung jawab yang dipercayakan kepada bapak. Bapak bukan Mendiknas pertama yang aktif di dunia pendidikan perguruan tinggi sebelum memegang jabatan ini, namun ingat bahwa program-program yang digagas pak Anies telah mengingatkan rakyat Indonesia akan fungsi Kemendikbud dalam peningkatan kualitas pendidikan dasar, dan tak semata persiapan lulusan pra-Sarjana. Maka mohon selalu direnungkan nasib peserta didik yang akan bapak pegang; bukan hanya peserta didik seusia mahasiswi/a dan bahkan para “generasi punk” yang pernah UMM rangkul dibawah pimpinan bapak, namun bahkan hingga calon janin di dalam Rahim ibu yang akan melahirkan. Nasib perkembangan mereka dipengaruhi oleh kesinambungan kualitas program Direktorat Keorangtuaan yang dibawahi Kemendikbud.
Kepada ibu Puan Maharani selaku Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, secara nalar publik bisa melihat dan memertimbangkan apakah tepat alasan penggalakan pemerataan KIP dan peningkatan kualitas lulusan SMK digunakan sebagai alasan penggantian menteri yang fungsinya memastikan pelaksanaan pendidikan (dasar) Nasional sevisi, senilai, dan seruh dengan nilai Indonesia.
Khususnya terkait sifat, fungsi, dan peran Kartu Indonesia Pintar sebagai akses ekonomis peserta didik, secara nalar publik dapat menilai sesungguhnya tanggung jawab siapakah kelancaran program multidimensional (sosekdikbud) ini. Maka, jika memang ibu bertugas mengatur dan mengordinatori perkembangan kami semua manusia Indonesia, mohon bantulah pemerintah, presiden, dan wapres dalam membuat keputusan yang tepat guna, khususnya bagi aspek pendidikan Indonesia.
Karena intelektualitas manusia Indonesia sudah jauh lebih berkembang dari segenggam kartu dan selembar ijazah.
Penulis adalah guru di salah satu sekolah
Editor : Trisno S Sutanto
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...