Terlalu Banyak Bekerja dan Kurang Tidur Timbulkan Efek Mengkhawatirkan
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Berawal dari cuma mengecek atau mengirim email pada tengah malam, godaan media sosial sering kali membuat kita “lupa waktu” untuk tidur.
Tekanan untuk bekerja lebih banyak, yang berimbas pada berkurangnya waktu untuk tidur, sudah seperti epidemi global dengan dampak yang mengkhawatirkan.
Tulisan James Fletcher, pembawa acara Inquiry Podcast yang dilansir BBC, dari judul asli “The Worrying Effects of Working More and Sleeping Less”, patut disimak.
“Pada era 1940-an orang rata-rata tidur sekitar delapan jam per malam. Sekarang di era modern, waktu tidur kita per malam rata-rata 6,7 atau 6,8 jam,” kata Matt Walker, guru besar psikologi dan neurosains di Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat.
“Jadi ada penurunan waktu tidur yang sangat besar dalam kurun 70 tahun. Dewasa ini kita kehilangan sekitar 20 persen dari waktu tidur orang-orang pada era 1940-an,” Walkermenambahkan.
Perubahan gaya hidup dan mobilitas di era modern tak diragukan lagi, membuat kita, dalam banyak situasi lebih tepat dikatakan memaksa kita, untuk mengurangi waktu tidur.
Gaya hidup yang dimaksud di antaranya kebiasaan minum kopi yang membuat kita lebih lama terjaga.
Kita sudah mencoba meningkatkan kualitas waktu istirahat melalui berbagai hal, misalnya menggunakan kasus yang lebih baik dan membuat rumah kita bebas asap. Tapi, mengontrol faktor-faktor lingkungan bukan berarti tidak menimbulkan persoalan, kata Walker.
Misalnya yang terkait dengan pemanas ruangan -bagi mereka yang mengalami musim dingin- dan air conditioning atau AC bagi yang berada di kawasan-kawasan bercuaca panas.
"Jadi, ketika matahari terbenam, temperatur turun cukup tajam dan ketika matahari terbit, suhu udara perlahan naik ke level normal. Tubuh kita secara alamiah menyesuaikan diri dengan ‘pola panas’ dari alam,” Walker memaparkan.
Dengan mengggunakan alat seperti pemanas atau AC, yang kita lakukan sebenarnya adalah ‘mengganggu mekanisme alami di tubuh kita, yang menjadi dasar kapan kita tidur’. Padahal, menurutnya, apa yang terjadi di alam, sebenarnya justru membantu kita untuk tidur.
Persoalan kedua adalah cahaya biru kuat yang dikeluarkan oleh lampu artifisial dan peranti yang menggunakan layar LED.
“Sayangnya, cahaya biru tersebut mengerem keluarnya hormon yang disebut melatonin pada malam hari. Melatonin inilah yang memberi sinyal kepada Anda untuk tidur,” kata Walker.
Yang ketiga, adalah teknologi dan media sosial. Banyak di antara kita yang masih mengirim email meski jam sudah menunjukkan tengah malam. Email adalah pintu ‘menuju gangguan-gangguan lain’.
Setelah selesai menulis email, mengecek status di Facebook, adalah jalur alamiah dan tanpa terasa setengah atau mungkin satu jam terlewati.
Akhirnya kita terlambat tidur, sementara esok pagi kita harus ke kantor.
Di luar itu, kita diberi anggapan bahwa tak masalah kurang tidur karena tokoh-tokoh dunia seperti Donald Trump, Barack Obama, dan Margaret Thatcher (mantan Perdana Menteri Inggris) tetap bisa sukses meski mengaku tidur kurang dari lima jam setiap malam.
Persoalan kurang tidur ini tak bisa diremehkan. Kita mesti hati-hati kalau tidur di bawah tujuh jam per malam menjadi rutinitas.
“Penyakit-penyakit serius yang membunuh kita di negara-negara maju: Alzheimer, kanker, obesitas, diabetes, perasaan cemas yang berlebihan, depresi, kecenderungan bunuh diri, semuanya memiliki kaitan langsung atau kausalitas dengan kekuarangan tidur,” kata Walker. (bbc.com)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...