Teror Medsos
Perkembangan pesat media sosial memperlihatkan potensinya. Tetapi, jika tidak hati-hati, juga bisa berbahaya. Apa yang perlu diperhatikan?
SATUHARAPAN.COM – Tak pelak lagi, tanggal 4 November telah jadi mambang yang menghantui dan menerbitkan kekhawatiran banyak kalangan. Apalagi mereka yang setiap saat hanya mengandalkan media sosial (medsos) sebagai sumber berita.
Anda pasti tahu apa yang sedang ramai dibicarakan. Konon, ada rencana demo besar-besaran di Jakarta tanggal 4 November nanti guna mendesak petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diperkarakan, dengan tuduhan menista Al-Qur’an dan ulama. Poster undangan demo pun disebar. Penggalangan massa dilakukan.
Sampai tahap itu, tak ada masalah. Demonstrasi adalah hak konstitusional setiap warga untuk menyalurkan pendapat. Jadi sah-sah saja jika Anda mau demo. Walau, dalam kasus Ahok, demo itu sudah salah arah. Tuduhan bahwa Ahok melakukan penistaan Al-Qur’an saat berpidato di Kepulauan Seribu, sebenarnya dipicu oleh suntingan Buni Yani terhadap video rekaman pidato itu yang menghilangkan kata “pakai” dan menimbulkan kontroversi. Apalagi Ahok sendiri sudah minta maaf. Lalu kenapa masih harus diributkan?
Tetapi bukan soal kontroversi itu yang jadi fokus tulisan ini. Ada perkembangan menarik dalam dua tiga hari terakhir, saat aneka informasi yang bersliweran di medsos mengubah sama sekali rencana demo itu menjadi sesuatu yang lebih menakutkan. Sebuah teror psikologis sedang berlangsung. Dan semuanya terjadi lewat medsos.
Bayangkan saja: undangan demo yang diedarkan dari satu WAG (WhatsApp Group) ke WAG lain dibumbuhi dengan anjuran, agar mereka yang akan ikut demo “membuat surat wasiat”. Juga beredar poster, lagi-lagi lewat WAG, yang berkata, “Kami Mencium Harum Surga di Jakarta” tanggal 4 November nanti. Malah tujuan demo pun, katanya, sudah bergeser: tidak sekadar menarget Ahok, tetapi juga kepemimpinan Presiden Jokowi. Dan puncaknya: beredar foto dari Jaiys Al-Fath di Suriah yang mengancam nyawa Ahok.
Semua itu menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran. Benarkah soalnya adalah Ahok dan Pilgub DKI? Jika memang ini urusan pertarungan Pilgub DKI, mengapa penggalangan massa berlangsung meluas ke daerah-daerah di luar Jakarta? Apa urusannya dengan Pilgub DKI? Lagi pula, apa kaitan pasukan di Suriah dengan peristiwa di Jakarta?
Bahaya Medsos
Tak seorang pun dapat memberi jawaban pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan itu. Dan karenanya, pertanyaan-pertanyaan itu makin meneror banyak kalangan yang kebingungan melihat perkembangan situasi.
Lebih parah lagi jika medsos menjadi satu-satunya sumber berita. Bila satu demi satu percakapan di Facebook, Twitter, What’sApp Groups dan platform medsos lain mengenai rencana tanggal 4 November diikuti, situasi yang tergambarkan sungguh sangat genting. Seakan-akan Indonesia – dimulai dari DKI Jakarta – sedang bersiaga hendak memasuki gelanggang perang habis-habisan, dan banjir darah akan terjadi tanggal 4 November nanti!
Menarik sekali untuk dicermati, bahwa seluruh bayangan menakutkan tersebut merupakan hasil konstruksi media sosial. Di situ kita jadi sadar betapa besar potensi medsos, tetapi sekaligus betapa berbahaya potensi itu. Lewat medsos, orang memang dapat saling terhubung setiap saat, mengakses dan berbagi sumber-sumber informasi dari seluruh dunia dalam sekejap hanya lewat sentuhan jari di layar ponsel cerdas. Mulai dari berita apa yang terjadi di belahan dunia lain, gosip artis, menu makanan, clip musik dan film terbaru, sampai pose dan adegan seronok bintang film, dalam sekejap dapat diakses dan dibagikan.
Tetapi potensi tersebut, pada saat bersamaan, punya sisi-sisi yang destruktif. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dicatat. Pertama, jumlah dan perputaran berita yang mbludak membuat sulit sekali orang mengambil jarak kritis (critical distance) dengan informasi yang diterimanya. Padahal jarak kritis ini sangat penting, agar orang mampu mencerna dan menilai informasi yang diserap. Bayangkan saja, setiap hari ada ribuan, ratusan ribu, atau bahkan jutaan informasi yang beredar cepat dari berbagai penjuru dunia melalui medsos. Sudah tentu, tak seorang pun dapat mengikuti semua, apalagi memilah, mencerna, dan menilainya. Maka lama-lama kita hanya sekadar mengonsumsi berita, tanpa mampu mencernanya secara kritis.
Masalahnya jadi lebih rumit karena, kedua, dalam medsos hampir tidak dimungkinkan verifikasi untuk menentukan kebenaran suatu informasi. Sebabnya sederhana: jumlah informasi yang diterima terlalu banyak dan beragam, juga berubah dengan sangat cepat, sehingga tidak memberi waktu cukup untuk melakukan verifikasi. Apalagi sumber “tangan pertama” informasi yang beredar melalui medsos biasanya sulit dilacak. Celah inilah yang kerap dipakai oleh mereka yang memang berniat menyebar berita-berita hoax, atau black campaign selama proses pemilu.
Hal ini terkait erat dengan soal ketiga yang menjadi karakteristik medsos: dalam medsos, Anda sekaligus pembuat, penyunting, maupun penyebar informasi. Tak ada orang atau pihak lain yang terlibat di situ sebagai penyeimbang. Anda sendiri yang bertanggungjawab terhadap isi berita yang dibuat dan disebar. Dunia medsos, boleh dibilang, memang semacam “rimba anarkis” yang tak punya aturan dan sensor.
Aspek terakhir itu – sebutlah semacam kebebasan yang hampir mutlak untuk menulis dan menyebarluaskan apa saja – membuat medsos sangat dinamis dan memikat. Walau umurnya belum terlalu lama, baru sekitar satu atau dua dekade, namun perkembangan dan persebarannya sempat (dan kadang masih) dianggap sebagai ancaman terhadap media-media konvensional. Data September lalu, misalnya, sebagaimana disebut Wikipedia, menunjukkan lebih dari 1,7 milyar pengguna Facebook. Sementara pengguna WhatsApp dan Facebook Messenger sudah mencapai jumlah 1 milyar. Belum lagi pengguna platform lain, seperti QQ (899 juta), WeChat (806 juta), Qzone (652 juta), Tumblr (555 juta), Instagram (500 juta), Twitter (313 juta), dstnya.
Melek Medsos
Kalau menimbang aspek-aspek berbahaya dari medsos itu, lalu apa yang bisa dilakukan? Sama sekali keluar dari pengaruhnya, walau memang mungkin, agaknya sulit dilakukan. Orang bisa dituduh katro, alias ketinggalan zaman. Begitu juga, mengatur dan mengawasi medsos dengan ketat, seperti pernah dilakukan di Tiongkok maupun Korea Utara, berarti mengorbankan kebebasan.
Pilihan paling masuk akal, tampaknya, adalah memberi wawasan social media literacy, dan belajar bertanggungjawab dalam memakainya. Orang harus terus menerus disadarkan bahaya medsos, dan selalu berusaha – walau sangat sulit – untuk menarik jarak kritis terhadap berita-berita yang diterima sehari-hari. Di situ butuh ketekunan untuk mencari sumber-sumber berita lain, memilah informasi yang diperoleh dan membanding-bandingkan dengan kritis, sebelum membagikannya ke orang lain. Seperti disebut dalam salah satu poster, “Jarimu adalah harimaumu!” Bukan tak mungkin berita yang disebarkan lewat sentuhan jari Anda di layar ponsel cerdas, bisa menjadi petaka bagi orang lain.
Sikap kritis “melek medsos” itu yang kini sangat dibutuhkan, baik menjelang tanggal 4 November nanti, maupun di masa depan. Apalagi makin sering terjadi, arah dan keputusan politik ditentukan oleh percakapan di dunia medsos. Dan, boleh jadi, percakapan yang dimulai dari kiriman Anda.
Karena itu, jadilah dewasa dan bertanggungjawab saat mengirim informasi di medsos!
Editor : Trisno S Sutanto
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...