Teror pun Turun di Jakarta
SATUHARAPAN.COM - Pagi itu, 14 Januari 2016, saya sedang asik menonton kesaksian Jusuf Kalla pada sidang korupsi Jero Wacik di Pengadilan Tipikor Jakarta, berita tiba-tiba beralih ke breaking news bom bunuh diri di kawasan Sarinah Jl. MH Thamrin, Jakarta. Berita pemboman dan penembakan itu dengan cepat menyebar melalui siaran televisi, berita online, dan media sosial facebook, twitter, whatsapp, dan BBM.
Di antara yang tersebar ada fakta dan persepsi, tapi ada juga berita palsu (hoax). Di antara “berita fitnah” yaitu teror juga terjadi di beberapa daerah di Jakarta seperti Palmerah, Slipi, Cikini, dan Mall Alam Sutera. Atas dasar ini beberapa pengamat langsung membuat kesimpulan instan teror ini replika Paris II, 13 November 2015.
Hoax lain yaitu ini bagian dari konspirasi Amerika. Indikasinya ialah surat peringatan Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada warga mereka untuk tidak mendekati daerah Sarinah dan Hotel Sari Pan Pacifik. Ternyata surat itu telah diedit waktu rilisnya. Amerika memang bukan negara lugu dan normatif terkait teror demi melihat keterkaitan mereka pada kasus Irak, Mesir, Afganistan, Pakistan, Libya, dan Suriah. Namun saya merasa mereka tidak sebodoh itu melibatkan diri apalagi melalui sepotong “emergency message” yang bocor ke publik.
Sepanjang drama yang kurang dramatis itu – karena secara jumlah korban meninggal kalah jauh dibanding Paris, Istanbul, Baghdad, apalagi Damaskus : “hanya” tujuh orang dan sebagian besar malah terduga teroris – bahwa dalangnya adalah kelompok teroris Poso Santoso. Belum berhenti di situ, kesimpulan meloncat bahwa yang bertanggung-jawab adalah jaringan ISIS Asia Tenggara dibawah Muhammad Bachrum Na’im, seperti pers rilis Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian.
Kesimpulan seperti itu memang gampang diterima karena menyasar kelompok jihadis yang sudah terkenal. Kita tidak keberatan jika itu didukung dengan bukti dan bukan sekedar spekulasi. Namun saya ingin mengajak untuk melihat sisi lain, bahwa kejadian ini bisa sama sekali tidak berhubungan dengan agama, sesuatu yang lebih “sekular”yaitu desain politik-ekonomi nasional-global.
Kenapa tidak ada yang mencoba menghubungkan kasus teror ini dengan tenggat bagi Freeport Indonesia untuk menawarkan divestasi yang jumlahnya mencapai Rp. 23 triliun? Kompas sendiri sudah membuat pemberitaan itu pada edisi 4 Desember 2015. Ingat Freeport kerap dihubungkan dengan bola politik panas nasional terutama perpanjangan kontrak mereka. Kasus Mahkamah Kehormatan Dewan dan favoritisme Amerika atas masalah Papua ternyata berhubungan erat dengan Freeport.
Atau kenapa tidak melihat kasus ini berhubungan dengan kasus lain, seperti ditolaknya RUU Keamanan Nasional oleh elemen masyarakat sipil untuk kembali dibahas. RUU Kamnas adalah blunder lama, dimunculkan sejak 2012 tapi terus gagal karena dianggap akan mengembalikan ketakutan pengelolaan negara ala Orde Baru yang mengancam demokrasi. Kebetulan Koran Tempo membantu publik mengingatnya melalui pemberitaan 13 Januari. Tragedi ini bisa saja menjadi menjadi pasport untuk memuluskan RUU Kamnas.
Seperti umumnya kasus teror, pelaku dan korban kadang bukan pesan sesungguhnya. Ada pesan yang lebih luas yang akan terbaca melalui pembentukan opini berhari-hari setelah itu. Media bisa menjadi ruang komunikasi antar-aktor untuk merancang “teror baru” yang daya rusaknya lebih besar dari teror terlihat. Secara faktual kita bisa melihat bagaimana kasus WTC 9/11 adalah pesan untuk menginvasi Afganistan dan Irak. Demikian pula kehadiran ISIS sendiri diakui oleh pemimpin Amerika seperti Hillary Clinton sebagai agenda menjatuhkan rejim Bashar al-Asad. Seperti itulah sejatinya tubuh politik teror bergerak.
Atau coba perhatikan bagaimana kasus Gafatar muncul dan menjadi kehebohan hingga kegawatan nasional dalam hitungan hari. Hilangnya dokter Rica di Yogyakarta, dan kemudian pemberitaan tentang semua orang hilang dihubungkan dengan organisasi yang katanya inkarnasi dari Milata Abraham itu. Bahkan jika dirunut, organisasi sosial itu masih memiliki akar historis dengan Negara Islam Indonesia (NII), meskipun berbeda 180 derajat secara ideologis. Para menteri ikut merespons secara dramatis dan hampir semua koran nasional mengangkat isu Gafatar sebagai headlines 14 Januari: hari teror Sarinah. Awalnya saya berpikir Gafatar akan menjadi kambing hitam atas tragedi ini, tapi rupanya ada yang lebih “empuk” untuk dijadikan sasaran.
Pesan yang ingin disampaikan adalah, kasus Sarinah jangan sampai menghilangkan kemanusiaan kita, egois, dan menjadi penuduh, termasuk menuduh representasi agama tertentu seperti Islam, sebagai penyubur terorisme. Bahkan sesungguhnya kehadiran kelompok-kelompok radikal pun tidak selalu berhubungan dengan jaringan terorisme.
Dalam hal ini dunia memang sedang tidak adil dalam membangun hubungan antar-agama. Dialog antar-pemeluk agama untuk mewujudkan perdamaian di antara agama-agama, seperti tesis Hans Kng, teolog Jerman, semakin kurang mendapatkan ruang segar. Bukan karena forum dialog lintas-iman sepi, tapi efek kebijakan struktural dan sikap intoleran masih tumbuh di ruang sosial dan politik kita.
Kita bisa lihat pada kasus sekulerisme keras Perancis. Beberapa hal fenomena itu ikut merepresi kelompok minoritas muslim yang kebetulan kurang beruntung secara politik dan ekonomi. Pelaku teror Paris I (7 Januari 2015), bukanlah muslim saleh. Mereka hanya pekerja kasar yang memiliki gaya hidup liar. Kondisi kemiskinan ditambah perasaan didiskriminasi melahirkan persepsi ditindas oleh penduduk asli Perancis yang “kafir”. Sikap itu bertemu dengan “ketidaksadaran” warga “tuan rumah” yang memperlakukan warga “muslim imigran” menurut selera sekulerisme satu arah atas nama la liberté.
Itulah fiksasi yang ditimbulkan oleh buntunya nalar sosial. Kita melihat bahwa sekuleralisme Perancis bukan lagi sebuah fenomena sosial tapi menjadi ancaman sosial. Tak kurang Paus Fransiskus ikut mengkritik majalah Charlie Hebdokarena menyakiti hati umat Islam atas nama kebebasan.
Demikian pula sikap pendeta Florida, Terry Jones, dari Dove World Outreach Centre (Pusat Menggapai Perdamaian Dunia) yang berencana membakar 2.998 buah Al Quran pada peringatan 12 tahun WTC 9/11 tidak bisa dianggap mewakili sikap gereja-gereja di Amerika. Seorang pendeta progresif, Deborah C. Lindsay dari Gereja First Community, Ohio mencibir tindakan Terry Jones tidak bermoral dan sakit jiwa. Dalam khutbahnya Lindsay menganggap sikap itu mewakili Islamofobia yang kuyu dan jauh dari pesan Kristiani. “Tidak ada pesan Yesus dan Injil yang mengatakan boleh membakar kitab suci agama lain. Itu sama sekali bukan pesan damai, bukan sikap memahami dan menjembatani, melainkan sikap gila”.
Kita suka mengambil kesimpulan berdasarkan baju representasi karena itu paling mudah, tapi sayangnya tidak tepat. Memang di setiap agama selalu ada kelompok ekstrem-radikal, yang salah memahami pesan agama otentik untuk menghargai iman orang lain. Namun mereka tidak bisa dianggap sama dengan arus utama umat yang menyukai perdamaian dan penghargaan agama-agama lain.
Anggap saja teror yang kini turun ke Jakarta tidak mewakili umat atau kelompok arus utama mana pun, tapi sikap orang sakit jiwa atau sosiopat yang agendanya tak lebih besar dari kebencian, kemarahan, dan ketakutannya sendiri. Mereka orang gagal melihat dunia kehidupan. Jika ini menjadi agenda politik, nistalah mereka karena menggunakan cara-cara kotor mengorbankan orang-orang tidak bersalah. Orang-orang yang tidak mengharapkan keluar rumah di pagi hari hanya untuk diledakkan di tengah jalan.
Penulis adalah Anggota Dewan Pakar NU Aceh.
Editor : Trisno S Sutanto
Tentara Ukraina Fokus Tahan Laju Rusia dan Bersiap Hadapi Ba...
KHARKIV-UKRAINA, SATUHARAPAN.COM-Keempat pesawat nirawak itu dirancang untuk membawa bom, tetapi seb...