Terpilih Jadi Tokoh Antikorupsi, Yoyok-Risma Buka Kartu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo, dan mantan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, meraih penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Awards (BHACA) 2015. Kedua tokoh itu dinilai juri BHACA bersih dari praktik korupsi dalam menjalankan birokrasi pemerintahannya.
Dalam kata sambutannya, Yoyok sempat memberikan masukan, agar Republik Indonesia semakin banyak memiliki kepala daerah berprestasi dan jauh dari tindak korupsi.
Tidak seperti 11 tahun terakhir, 56 kepala daerah terpaksa berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seterlah terjerat kasus penyalahgunaan wewenang, baik dalam pengelolaan anggaran dan aset daerah ataupun penyalahgunaan terkait perizinan, hingga bermasalah dengan kasus penyuapan.
Yoyok mengaku saat mencalonkan diri untuk menjadi Bupati Batang periode 2012-2017, dia tidak memiliki pengalaman birokrasi. Dia hanya seorang pensiunan muda Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga tidak mengerti masalah politik serta anggaran. Namun setelah terpilih, dia terus belajar.
"Begitu jadi bupati, saya tidak punya pengalaman ilmu birokrasi dan anggaran. Saya tidak dididik begitu. Coba dibayangkan, saya harus memimpin sekitar 8.000 Pegawai Negeri Sipil di bawah saya, kemudian saya harus mengelola anggaran 2 triliun rupiah, 100 miliar rupiah," kata Yoyok saat memberi sambutan dalam acara BHACA 2015, di Graha Niaga, Jakarta Pusat, hari Kamis (5/11) malam.
Menurut dia, kunci utama seorang pemimpin adalah keinginan untuk belajar, yakni mempelajari sistem pemerintahan yang ada, birokrasi, sistem, dan aturan. "Kalau diminta buat konsep, orang kita hebat. Tapi kalau diminta menjalankan, tak semuanya bisa. Nah hal itu yang harus kita sadari," ucap Yoyok.
Permudah Sistem Birokrasi
Sementara itu menurut Risma, kerja aparat birokrasi harus dipermudah demi menghindari praktik curang. Salah satu yang dilakukan Risma saat menjabat sebagai Wali Kota Surabaya periode 2010-2015 adalah membuat sistem pelayanan elektronik.
Dia menceritakan, ada sekitar 18 ribu PNS di Kota Surabaya, sehingga tidak mungkin dia mengarahkan satu per satu. Akhirnya, Risma pun membuat sistem yang dinamakan ‘Single Window’, untuk bertindak dan bekerja secara sistematis.
"Kenapa kami buat sistem, karena dibutuhkan juga transparasi sehingga dengan elektronik memudahkan kita mengontrol dan mengajak orang-orang untuk bersih," kata dia.
Terlebih, Risma melanjutkan, jumlah penduduk Surabaya lebih dari tiga juta jiwa, sehingga tidak mungkin melakukan sosialisasi pelayanan satu per satu. Dengan ‘Single Window’, semua birokrasi pelayanan di Pemerintahan Kota Surabaya terintergrasi.
"Penduduk Surabaya tiga juta, kalau satu persatu saya omongin berat. Makanya saya buat sistem, sehingga lebih cepat dan mudah. Kemudian, sistem itu pasti transparan, terukur, bersentuhan dan ketemu langsung agar menghindari kontak-kontak di luar sistem dan bisa dikontrol oleh atasan," tutur Risma.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...