Tim UI Raih Medali Emas di Kompetisi Rekayasa Genetik di Amerika Serikat
DEPOK, SATUHARAPAN.COM – Tim mahasiswa Universitas Indonesia (UI) berhasil meraih medali emas dalam ajang International Genetically Engineering Machine (IGEM) Competition 2018. Tim UI mempresentasikan proyek inovasi berupa alat diagnosis difteri, menggunakan bakteri rekombinan yang diharapkan mampu lebih mudah, cepat, dan murah untuk memberikan penanganan diagnosis difteri yang baik untuk Indonesia.
Proyek penelitian yang dinamai “Finding Diphty” itu dipresentasikan di hadapan para juri yang berlangsung pada 24-28 Oktober 2018 di Boston, Amerika Serikat.
Tim mahasiswa UI terdiri atas 14 mahasiswa lintas program studi yang keberangkatannya ke Amerika diwakili oleh Andrea Laurentius (FKUI 2016), Galuh Widyastuti (FKM UI 2016), Glory Lamria (FTUI 2015), dan Valdi Japranata (FKUI 2015).
Presentasi hasil penelitian dilakukan di hadapan juri yang terdiri atas pakar di bidang genetic engineering dunia seperti Senior Staff MIT Lincoln Laboratory, Bioengineering Group, Director of the Competition – iGEM Foundation.
Difteri adalah infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium. Gejalanya berupa sakit tenggorokan, demam, dan terbentuknya lapisan di amandel dan tenggorokan.
Meskipun kini dapat dicegah dan disembuhkan, insiden dan tingkat kematian akibat difteri masih ada, terutama di negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Pada tahun 2017, difteri kembali mewabah di Indonesia, terutama pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak divaksinasi. Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu disoroti: Kurangnya deteksi dini dan pengobatan yang cepat terhadap infeksi difteri, dan kurangnya kesadaran mengenai difteri dan vaksinasi di kalangan masyarakat Indonesia.
Berangkat dari permasalahan tersebut, tim Finding Diphty meneliti terkait difteri. Ketua Tim Valdi Japranata mengatakan, “Proyek penelitian ini bertujuan untuk mewujudkan alat diagnostik wabah difteri di Indonesia yang terjangkau dan aman."
"Kami meneliti metode alternatif untuk mendeteksi toxin difteria, dengan mengintegrasikan sistem kemotaksis Escherichia coli dengan reseptor heparin-binding EGF-like growth factor (HB-EGF) dan system fluorescence resonance energy transfer (FRET), yang terdiri atas gen LuxAB dan enhanced yellow fluorescence protein (eYFP)."
Hasil dari penelitian itu, dapat diintegrasikan sistem kemotaksis. "Ke depannya jika ada investor yang tertarik, kita bisa integrasikan sistem ini ke E-coli. End product-nya bisa lebih mudah, murah, dan cepat.”
Selain menjalankan proyek penelitian, tim juga menjalankan proyek sosial, untuk berupaya meningkatkan kesadaran terhadap difteri.
Tim Finding Diphty melakukan penyuluhan masyarakat yang meliputi kunjungan sosial ke Desa Cikidang, Jawa Barat, serta melakukan edukasi terhadap masyarakat dengan forum diskusi pelajar yang bekerja sama dengan Nanyang Technological University, Singapura.
IGEM 2018, merupakan kompetisi rekayasa genetika terbesar di dunia dengan jumlah peserta 321 tim dari lebih dari 100 negara. Kompetisi International Genetically Engineered Machine (iGEM) adalah kompetisi paling bergengsi di bidang genetika dan biologi molekuler.
Kompetisi ini diikuti oleh mahasiswa sarjana dan pascasarjana, dengan latar belakang keilmuan yang beragam dari seluruh dunia.
Dalam kompetisi ini, setiap tim mendapat kesempatan untuk merancang dan membuat sistem biologis untuk dioperasikan ke dalam sel hidup. Selain itu tim juga dituntut untuk dapat mempromosikan dan mengaplikasikan sistem biologisnya untuk kepentingan masyarakat. (ui.ac.id)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...