Tindakan Jokowi Pasca Ahok Tersangka Menurut Pakar Australia
SYDNEY, SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo menarik pelajaran penting dari kasus dugaan penistaan agama yang mengakibatkan Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama berstatus tersangka.
Kasus ini menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo rentan terhadap tekanan kelompok garis keras agama. Mengendalikan parlemen dan memiliki popularitas tinggi ternyata belum cukup untuk menstabilkan pemerintahan Joko Widodo. Namun pada saat yang sama, Jokowi diyakini akan melawan tekanan lewat berbagai jalur lain.
Hal ini dikatakan oleh Associate Professor pada College of Asia and Pacific Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, menanggapi peristiwa yang sedang ramai diperbincangan di Indonesia dan di seluruh dunia, yakni ditersangkakannya Basuki atau Ahok pada Rabu, 16 November. Ahok diduga melakukan penistaan agama ketika berbicara dengan warga Kepulauan Seribu belum lama ini.
Berbicara kepada kantor berita AAP sebagaimana dilansir dari media online Tasmania, Mercury, Mietzner mengatakan keputusan polisi dan pemerintah menetapkan Ahok sebagai tersangka adalah upaya untuk 'menyalurkan asap' dari gencarnya tekanan kelompok garis keras agama terhadap Ahok.
Namun, di sisi lain, menurut Mietzner, keputusan itu juga adalah upaya untuk "memisahkan Jokowi dari Ahok, yang kini dilihat menempatkan stabilitas pemerintahan Jokowi dalam risiko."
"Bagi Jokowi, persoalan ini memberi arti bahwa mengendalikan parlemen dan memiliki popularitas tinggi belum cukup untuk menstabilkan pemerintahannya," kata Mietzner, yang memiliki spesialisasi di bidang politik Asia dan Pasifik serta banyak melakukan studi di Indonesia.
"Jokowi kini terbukti rentan terhadap mobilisasi kelompok agama, tetapi saya yakin, dia akan bergerak untuk melawan sponsor politik di belakang (mobilisasi itu) melalui berbagai cara lain," ia mengatakan.
Menurut dia, perlawanan Jokowi akan mengambil tempat di berbagai front. Ia menambahkan, tensi politik akan terus meningkat menuju tahun 2019 ketika pilpres diadakan.
Aksi-aksi unjuk rasa menolak Ahok belakangan ini banyak dikaitkan motif politik, bukan murni soal penistaan agama. Presiden Joko Widodo mengatakan ada aktor politik yang menunggangi aksi unjuk rasa 4 November yang berakhir dengan kerusuhan.
Presiden Joko Widodo belum lama ini mengungkapkan adanya 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak. Ia menginstruksikan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit laik atau tidaknya melanjutkan proyek tersebut.
BPKP telah melaporkan hasil sementara audit kepada Jokowi. Dari 34 proyek, 12 di antaranya tidak dapat dilanjutkan. Akibatnya, ada potensi kerugian negara yang cukup besar dari nilai kontrak Rp 3,76 triliun.
Sementara 22 proyek bisa dilanjutkan namun membutuhkan butuh modal besar. Dana tambahan yang diperkirakan adalah Rp 4,68 triliun dan Rp 7,25 triliun.
Kubu Partai Demokrat telah menanggapi upaya ini. Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Amir Syamsuddin meminta agar pembangunan 34 pembangkit listrik yang mangkrak tidak dikooptasi menjadi sebuah komoditas politik.
Amir Syamsuddin mengingatkan agar Pemerintahan Joko Widodo tidak menjadikan proyek yang mangkrak tersebut sebagai alat untuk menjatuhkan pemerintahan era SBY.
Ahok, sementara itu, mengatakan dia tidak akan mengundurkan diri dari Pilkada. Ia bahkan meminta pendukungnya untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari pencoblosan, dan menyerukan untuk memenangkan pasangan Basuki-Djarot dalam satu putaran.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...