TNI-Polri Siap Perang, Tapi Sulit Ungkap Kasus Paniai Papua
TIMIKA, SATUHARAPAN.COM – Aparat TNI dan Polri siap meladeni tantangan berperang yang dikobarkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Ayub Waker, kata Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Polisi Yotje Mende.
“Saya membaca di website bahwa mereka mengobarkan bendera perang dengan kita, yah kita siap. Saya bersama Bapak Panglima (Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Fransen Siahaan, Red.) sudah siap menghadapi mereka. Kami tidak akan gentar sedikit pun,” katanya di Timika, Selasa (13/1).
Ia mengatakan akan terus mengejar KKB Ayub Waker yang merupakan dalang utama kasus penembakan yang menewaskan dua anggota Brimob dan satu petugas keamanan P.T. Freeport Indonesia di Utikini Lama, Tembagapura pada 1 Januari lalu.
“Kesimpulan saya, mereka keras kepala. Saya akan kejar mereka terus kemana pun mereka berada dan tidak ada satu hari pun kami melepas mereka,” ujarnya.
Guna memutus mata rantai pasokan bahan makanan ke KKB Ayub Waker, ia mengaku telah memerintahkan untuk “pembersihan” para pendulang liar di sepanjang bantaran Kali Kabur, terutama di sekitar wilayah Utikini Lama hingga Banti, Distrik Tembagapura.
“Saya sudah memberikan ultimatum kepada para pendulang gelap yang ada di bantaran sungai untuk hentikan memberikan uang dan makanan ke kelompok kriminal ini. Sekarang mereka mau kerja sama dengan kita dari NKRI atau dengan mereka yang mau memisahkan diri dengan negara kita,” kata Yotje.
Ia meminta para pendulang liar jangan terbuai dengan segala macam bujuk rayu dari KKB Ayub Waker yang memang merupakan kelompok separatis dengan tujuan ingin memisahkan Papua dari NKRI.
“Saya minta untuk diputuskan pasokan logistik dan uang ke kelompok itu. Kalau tidak, kita akan operasi di seluruh bantaran sungai, bukan hanya di Utikini Lama saja tetapi juga di tempat-tempat lain,” katanya.
Terkait dengan kasus penembakan yang menewaskan dua anggota Brimob Satgas Pengamanan PT Freeport Indonesia dan seorang petugas keamanan beberapa waktu lalu, ia mengatakan hingga saat ini dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu MW dan JW.
MW ditangkap di bantaran Kali Kabur di sekitar lokasi penembakan anggota Brimob dengan barang bukti sebilah pisau sangkur yang masih berlumuran darah.
JW diketahui sebagai anggota KKB Ayub Waker yang melakukan penyerangan mobil yang ditumpangi anggota Brimob dan petugas keamanan Freeport.
Komnas HAM: Polisi Papua Berlebihan Kejar KKB
Komisioner Komnas HAM Pusat Nur Otto Abdullah berpendapat sikap Kepolisian Daerah Papua dalam mengejar Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Ayub Waker yang diperkirakan berjumlah 50-an orang di Timika, kabupaten Mimika dinilai berlebihan.
“Saya kira (pengerahan 1.576 aparat gabungan itu kan mencerminkan sikap yang berlebihan,” kata Nur Otto Abdullah ketika dihubungi dari Kota Jayapura, Papua, Kamis.
Pernyataan ini disampaikan Nur Otto Abdullah menyusul pengerahan ribuan pasukan gabungan (Polri-TNI) oleh Kapolda Papua Irjen Pol Yotje Mende di sekitar Kampung Utikini, kabupaten Mimika pascapenembakan dua anggota Brimob dan seorang petugas keamanan Freeport pada Kamis (1/1) pekan kemarin.
“Nantinya emosinya lebih tinggi dari profesionalitasnya, begitu,” ujarnya.
Menurut Nur Otto Adullah meskipun hal itu atas restu atau perintah Kapolri Jenderal Pol Sutarman, seharusnya jajaran kepolisian di wilayah Papua bisa bersikap profesional dalam menangani kekerasan yang terjadi.
“Terlepas dari itu (izin Kapolri). Itu (pengerahan ribuan pasukan) menunjukkan emosi yang tinggi dari profesionalitas, karena hal itu bisa kita bandingkan untuk kasus di Paniai (yang belum terungkap),” katanya.
Mengenai beredarnya isu pembakaran rumah, gubuk atau pun honai di sekitar Kampung Utikini oleh aparat keamanan yang melakukan pengejaran KKB Ayub Waker, Nur Otto mengatakan jika hal itu benar, dan termasuk dalam suatu operasi.
Maka hal itu bisa berpeluang terjadi pelanggaran HAM berat. “Berarti, jika hal itu benar terjadi dalam sebuah operasi, itu mungkin indikasi kuat terjadi pelanggaran HAM itu cukup kuat. Karena hal seperti itu termasuk pelanggaran HAM berat,” katanya.
Nur Otto Abdullah menegaskan bahwa kekerasan di Timika, seharusnya Polri menunjukkan kadar profesionalitas, bukan emosi dan lebih mengedepankan upaya hukum positif dan bersikap dan bertindak yang terukur. “Seharusnya mereka (aparat Polri-TNI) profesional sebagai aparat negara mereka punya kewajiban konstitusional untuk melindungi warga sipil. Seharusnya kasus di Timika dan di Paniai, Polri bersikap profesional, artinya mereka harus tetap dapat menangkap pelaku dan dibawa untuk proses hukum,” katanya.
“Jangan kasus Timika (KKB Ayub Waker) mereka buru habis-habisan sampai ke neraka, tapi di kasus Paniai (kekerasan warga sipil) mereka tidak lakukan hal yang sama dalam pengungkapannya,” ia menambahkan.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Irjen Pol Yotje Mende mengungkapkan sebanyak 1.576 aparat gabungan Polri-TNI dikerahkan untuk mengejar Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Ayub Waker yang menembak mati dua brimob dan seorang security Freeport.
“Operasi penegakan hukum atau operasi kontijensi adalah operasi yang diperintahkan langsung oleh Kapolri pascapenembakan dua anggota Brimob dan seorang security Freeport,” kata Kapolda Papua Irjen Pol Yotje Mende saat menggelar jumpa pers di Aula Rupatama Mapolda di Kota Jayapura, Rabu (7/1) sore.
Polri Sulit Mengungkap Kasus Kerusuhan Paniai
Polri mengaku kesulitan mengusut kasus kerusuhan di Kabupaten Paniai, Papua yang menewaskan empat orang warga sipil yang terjadi pada awal Desember 2014.
“Kesulitan, ya,” kata Kapolri Jenderal Sutarman di Jakarta, Jumat.
Sebab, menurutnya keluarga korban berkeberatan bila jenazah korban diotopsi. Padahal ini penting untuk menemukan proyektil peluru yang bersarang di tubuh korban.
“Masyarakat tidak mengizinkan jenazah diotopsi. Tapi kita akan tetap menunggu. Kita harus temukan proyektil peluru. Dari situ akan terungkap pelurunya berasal dari senjata apa,” kata Kapolri Sutarman.
Tim investigasi dari Mabes Polri hingga kini masih mengumpulkan sejumlah bukti dan saksi mata terkait kasus tersebut.
Kendati demikian masyarakat di Paniai masih enggan untuk bersaksi atas peristiwa yang menewaskan empat warga dan melukai belasan orang lainnya itu.
Kerusuhan di Enarotali, Paniai itu berawal dari teguran warga di pondok Natal Bukit Merah kepada seseorang yang belum dikenal saat berkendara tanpa lampu. Tidak diterima ditegur, pengendara turun sehingga terjadilah perkelahian dan terdengar tiga kali suara tembakan.
Akibatnya warga menyerang markas Koramil dan Mapolsek Paniai Timur serta melakukan aksi pembakaran beberapa unit mobil dinas milik polisi dan TNI.
Peristiwa itu mengakibatkan enam orang meninggal Korban meninggal yang diduga akibat tembakan TNI/Polri ini adalah Simon Degei (18) siswa kelas 3 SMA Negeri 1 Paniai Timur. Korban lain, Otianus Gobai (18) merupakan siswa kelas III SMA Negeri 1 Paniai Timur. Dia bahkan masih mengenakan baju sekolah.
Kemudian, Alfius Youw berusia (17) siswa kelas III SMA Negeri 1 Paniai Timur. Kemudian Yulian Yeimo (17), yang masih di kelas I SMA Negeri 1 Paniai Timur. Lalu Abia Gobay berumur 17 tahun. Ia juga siswa SMA Negeri 1 Paniai Timur kelas III. Tiga hari kemudian korban luka, Yulian Tobai meninggal dunia menyusul lima temannya.
Jenazahnya empat korban, yaitu Yulian Yeimo, Simon Degei, Abia Gobay, dan Alpius Youw kemudian dimakamkan di dalam satu liang di halaman markas Koramil Enarotali.
Aktivis Desak Komnas HAM Bentuk KPPH Paniai
Beberapa aktivis yang tergabung dalam Gerakan PapuaItuKita mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPPH) terkait kasus kekerasan di Paniai, Papua.
“Komnas HAM jangan ragu-ragu untuk membentuk KPPH agar pengadilan HAM tragedi Paniai terwujud,” kata relawan Gerakan PapuaItuKita Zely Ariane di Jakarta, Kamis.
Pada Rabu, Komnas HAM telah melakukan pertemuan pleno dan merekomendasikan pembentukan tim penyelidikan berdasarkan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
“Pertemuan Komnas HAM tersebut belum secara tegas dan bulat menyatakan akan membentuk KPPH untuk kasus penembakan di Paniai,” katanya.
Menurut Zely, unsur-unsur pelanggaran HAM berat semestinya telah dapat disimpulkan terjadi di Paniai dan hal tersebut harus dilaporkan ke publik.
“Pembentukan KPPH tersebut diharapkan mampu membantu proses penyebaran informasi terkait insiden di Paniai agar dapat tersampaikan ke publik,” kata Zely.
Selain itu, Komnas HAM diharapkan mampu mendengarkan permintaan dan tuntutan unsur-unsur masyarakat seperti agamawan, budayawan, akademisi, lembaga-lembaga HAM, dan kelompok masyarakat sipil.
“Unsur independen juga perlu dilibatkan dalam penyelidikan kasus ini,” ucap Zely.
Selama menunggu kejelasan proses pembentukan KPPH tersebut, katanya, Komnas HAM juga diminta untuk melibatkan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
“Keterlibatan LPSK bertujuan untuk memberikan perlindungan dan perawatan pada saksi dan korban yang memerlukan, mencegah intimidasi dan mencegah penghilangan barang bukti,” kata Zely.
Insiden penembakan di Kampung Ipakiye, Kota Enarotali, Distrik Paniai Timur terjadi pada 8 Desember 2014. Peristiwa tersebut menyebabkan enam orang meninggal, tiga orang terluka karena terkena peluru di bagian perut serta puluhan orang luka ringan karena terkena terjangan peluru pada bagian kaki. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...