Todung: Apa Pengungkapan Tragedi 1965 Seperti di Afsel?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pegiat hak asasi manusia (HAM), Todung Mulya Lubis, mempertanyakan apakah Indonesia dapat menyelesaikan tragedi 1965 seperti Afrika Selatan saat menghapuskan Apartheid (kasus pemisahan ras) pada tahun 1991?
Sosok yang merupakan jaksa dalam International People's Tribunal 1965 itu menekankan pentingnya pernyataan resmi pemerintah terkait keberadaan korban akibat tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh komunis dan anggota Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 itu.
“Yang penting bukan jumlahnya, tapi pengakuan tentang adanya korban,” kata Todung dalam acara Simposium Nasional 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan', di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, hari Senin (18/4).
Menurutnya, terkait tragedi 1965, jumlah korban penting untuk diketahui. Mulai dari jumlah korban yang terbunuh, dibuang ke Pulau Buru, tidak bisa kembali ke Indonesia, hingga korban pemerkosaan dan kehilangan harta benda.
Lebih jauh, dia menyampaikan, awal mula tragedi 1965 adalah saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Soekarno. Menurut Todung, dekrit itu membawa iklim konflik baru yang menandai pemerintahan otoriter.
“Semua kekuatan dan kelompok politik berpacu mencari kekuasaan. Bersamaan (dengan itu) timbul rasa insecure,” ujarnya.
Saat itu, kata Todung, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah melakukan manuver politik. Di satu sisi, TNI khawatir terpinggirkan, sehingga tumbuh iklim konflik dan lahir tragedi 1965.
Todung pun mengingatkan, tragedi 1965 bukan semata pergolakan politik di tataran domestik. Menurutnya, peran Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, cukup terlihat kasat mata.
Oleh karena itu, menurut Todung, hal terpenting terkait tragedi 1965 adalah adanya pengungkapan kebenaran.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...