Tokoh Agama-Masyarakat Perlu Terlibat Cegah Perkawinan Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Woro Srihastuti Sulistyaningrum menyampaikan bahwa pencegahan perkawinan anak perlu melibatkan tokoh agama dan seluruh lapisan masyarakat.
“Mencegah perkawinan usia anak itu pertama kita perkuat dulu dari sisi anak, harus punya ketahanan. Kemudian, kita juga memberikan pemahaman di lingkungan sekitar anak, yakni orang tua, sekolah, masyarakat yang ada di sekitar anak termasuk tokoh agama,” kata Woro saat ditemui di Jakarta, Kamis (24/8).
Ia menjelaskan bahwa pemerintah sudah memiliki strategi nasional pencegahan perkawinan anak yang menjadi tanggung jawab lintas sektor, utamanya terkait dengan bimbingan perkawinan yang bekerja sama dengan Kementerian Agama RI untuk memastikan anak-anak dan remaja mendapatkan edukasi bahaya perkawinan anak.
“Kita terus memberikan penguatan, sosialisasi, pemahaman, dan pendekatan-pendekatan kepada mereka, termasuk memperkuat kapasitas pengasuhan, nah kalau pengasuhan ini tempatnya di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),” ujar dia.
Ia menjelaskan, BKKBN selama ini telah mempunyai program-program seperti Bina Keluarga Balita (BKB), dan Bina Keluarga Remaja untuk penguatan dari sisi pengasuhan.
“Program-program BKB dan BKR itu penguatan dari sisi pengasuhan, kita juga koordinasi bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI juga terkait ini. Kemudian, kita juga kuatkan dari sisi penyiapan akses layanan untuk pencegahan,” tuturnya.
Agar anak-anak tidak menikah di usia muda, Woro juga mengatakan bahwa pemerintah perlu memastikan 12 tahun wajib belajar berjalan dengan baik, agar anak-anak di satuan pendidikan tidak cepat-cepat menikah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.
“Penguatan itu dilakukan agar anak-anak sekolah tidak cepat-cepat menikah, sekaligus memastikan anak-anak yang sudah terlanjur menikah terus mendapatkan pelayanan, jangan sampai mereka putus pendidikannya,” ucap dia.
“Kalau yang sudah terlanjur menikah, layanan kesehatan reproduksi juga harus jalan, artinya mencegah agar mereka jangan cepat-cepat hamil, itu yang harus kita lakukan,” sambungnya.
Berdasarkan data Susenas Badan Pusat Statistik (BPS), angka perkawinan anak di bawah 18 tahun memang sudah menurun menjadi 8,06 di tahun 2022, namun, angka gugatan cerai justru semakin meningkat di tahun 2022 yakni sebanyak 388.358 jiwa, dibandingkan dengan tahun 2021 yakni sebanyak 337.343.
“Ini menjadi catatan yang mungkin belum menjadi perhatian kita, karena perkawinan tidak dibangun dengan siap dan tidak punya landasan yang kokoh, sehingga angka perceraian ini meningkat,” kata Woro.
Adapun yang menjadi salah satu permasalahan ke depan dan perlu menjadi perhatian menurut Woro yakni kasus perkawinan anak yang tidak tercatat.
“Ini yang menjadi permasalahan kita ke depan, karena seringkali itu tidak dicatat, jadi target sasarannya menjadi tidak jelas siapa yang harus kita bantu, kalau tidak tercatat siapa dan di mana mereka, kita tidak bisa menjangkau untuk memberikan layanan. Ini menjadi tantangan,” kata dia.
Untuk itu, dia menegaskan pentingnya kerja sama dan kolaborasi tidak hanya antar kementerian dan lembaga, melainkan dengan seluruh lapisan masyarakat untuk mencegah perkawinan anak.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...