Tragedi Para Milisi NIIS Yang Mau Pulang
SATUHARAPAN.COM – Para milisi dari negara-negara Barat yang bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) mengahadapi situasi yang makin kritis. Sebagian dari mereka menginginkan untuk pulang, namun tidak tahu bagaimana harus menghadapi pengadilan di negaranya.
Surat kabar Inggris, The Telegraph, menyebutkan bahwa ada sekitar 376 orang asal Prancis yang sekarang bergabung dengan NIIS di Suriah. Sekitar 100 orang telah kembali ke Prancis, namun 76 orang meringkuk di penjara untuk menghadapi tuntutan hukum.
Sementara surat kabar lain, The Times, menyebutkan bahwa sekitar 260 warga Inggris diyakini telah kembali dari Suriah, dan 40 orang dari mereka tengah menunggu sidang pengadilan.
Para jihadis itu telah menjadi perhatian serius bagi negara-negara Barat, bukan hanya jumlah mereka yang banyak, tetapi juga kepulangan mereka bisa menjadi ancaman sendiri bagi negara itu. Namun situasi sulit juga dihadapi para jihadis yang mulai frustrasi itu.
Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA, pernah menyebutkan bahwa NIIS yang mengusai secara cepat wilayah Suriah dan Irak pada pertengahan tahun ini juga didukung oleh keberhasilan merekrut anggota baru, termasuk dari Barat. Badan ini menyebutkan NIIS memiliki kekuatan antara 20.000 hingga 31.500 pasukan.
Namun cerita yang lain ditampilkan oleh surat kabar Prancis, Le Figaro, tentang jihadis asal Prancis yang mulai muak dengan kondisi yang dihadapi. Media ini mengutip tulisan seorang jihadis yang mengeluh tentang misinya yang semula disebut sebagai ‘’perang suci’’ itu. ‘’Saya muak. IPod saya tidak berfungsi lagi di sini. Saya harus kembali,’’ tulis seorang jihadis asal Prancis.
Situs Al Arabiya mengutip Chris Doyle, Direktur Council for Arab-British Understanding (CAABU), lembaga yang berbasis di London yang menyebutkan bahwa setelah beberapa bulan di Irak atau Suriah, para jihadis ini melihat realitas "perang ekonomi" bukan ‘’perang suci’’ yang mereka bayangkan.
"Ini bukan apa yang mereka pikir sehingga pergi ke sana," katanya. Mereka menyaksikan penyelundupan, tebusan dalam penculikan, bertempur melawan kelompok pemberontak lain, kebrutalan, dan serangan.
Surat Elektronik
Serangkaian surat elektronik dari jihadis asing itu dibaca oleh surat kabar Le Figaro, seperti dipublikasikan hari Minggu (30/11) yang memberikan sekilas kehidupan para jihadis dengan situasi mereka. Menurut media ini, beberapa jihadis memohon untuk saran tentang caranya untuk kembali ke rumah.
Beberapa tulisan mereka menunjukkan suasana tidak puas dengan tugas yang diberikan kepada mereka. "Pada dasarnya saya sudah melakukan semua, kecuali membagikan pakaian dan makanan," tulis salah satu jihadis yang ingin kembali.
Menurut Le Figaro, dia berada di Aleppo, Suriah, dan menulis, "Saya juga membantu membersihkan senjata, dan mengangkut mayat dari garis depan. Musim dingin tiba di sini. Ini benar-benar mulai berat."
Jihadis lainnya menulis, "Saya muak. Mereka menyuruh saya mencuci." Sementara yang lain mengungkapkan tentang jihadis yang dikirim ke garis depan (pertempuran), meskipun jelas sekali bahwa dia menolak. "Mereka mengirim saya ke front, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya untuk menolak."
Surat kabar Le Figaro mengungkapkan bahwa beberapa jihadis dari Perancis mulai ingin meninggalkan Suriah dan Irak. "Semua orang tahu bahwa, semakin lama orang-orang ini tinggal di sana, dan lebih dari itu, karena setelah mereka menyaksikan atau melakukan kekejaman, mereka menjadi bom waktu," kata seorang pengacara dalam tulisan yang dikutip Le Figaro.
Tuntutan Hukum
Dalam laporan itu, diungkapkan bahwa para jihadis mulai mengontak keluarga dan pengacara melalui internet. Mereka berbicara melalui email atau jejaring sosial. Kontak itu untuk membicarakan cara mereka kembali dan kemungkinan menghadapi tuntutan hukum.
Pengacara itu juga menggunakannya untuk menunjukkan kepada hakim tentang itikad baik mereka. Namun informasi itu juga diambil oleh penegak hukum yang pertugas menghadapai terorisme.
Beberapa dialog melalui internet itu menawarkan untuk mereka datanag ke konsulat Prancis di Istanbul (Turki) atau di Erbil, Irak utara. Namun dalam banyak kasus, termasuk jihadis dari negara lain, banyak yang segera ditangkap setelah pulang. Berita terbaru adalah pemuda dari India yang ditangkap setelah kecewa bergabung dengan Daesh (sebutan NIIS dalam bahasa Arab).
Namun berbagai laporan itu juga menyebutkan bahwa pihak Prancis makin hati-hati dalam dialog melalui internet. NIIS menunjukkan sikap yang keras untuk mencegah meluasnya jihadis yang ingin pulang. Pemimpin lokal mereka akan memenggal kepala jihadis yang hendak meninggalkan mereka. Untuk itu, para jihadis ini juga mulai menghapus pesan di jejaring sosial dan email mereka.
Sense of Anomie
Fakta lain menunjukkan bahwa para jihadis dari barat itu sebagian besar berusia muda, bahkan disebutkan antara usia 17 tahun hingga 23 tahun. Dalam pernyataan yang dikutip oleh situs berita Al Arabiya, Hilal Khashan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Amerika di Beirut, menyebutkan bahwa mereka yang bergabung dengan NIIS didorong oleh ‘’sense of anomie.’’
Hal itu adalah istilah sosial yang merujuk kepada situasi di masyarakat yang sedikit sekali memberikan bimbingan moral bagi individu. Anomie berasal dari kata anomos (Yunani) yang berarti tanpa hukum. Dan hal itu ditandai dengan orang tersebut lemah dalam standar moralnya.
"Setelah menghabiskan waktu berjuang untuk Daesh di Irak dan Suriah, mereka sampai pada kesimpulan bahwa seberapa buruk hidup mereka di Barat, masih tetap jauh lebih baik ketimbang apa yang mereka hadapi sekarang," kata Khashan.
Keinginan untuk pulang, menurut dia, mungkin adalah suara yang membangunkan (menyadarkan) mereka. ‘’... dan mungkin juga membuka cakrawala baru bagi mereka setelah mereka kembali ... Negara-negara Barat harus memperlakukan fenomena ini sebagai kasus psikologis daripada sebagai masalah kriminal," kata dia menambahkan.
Negara-negara Barat memang menghadapi dilema dengan kemungkinan mereka kembali, di mana kemungkinan mereka melanjutkan serangan di negara mereka sendiri. Dalam beberapa bulan terakhir, negara-negara Barat mencatat lonjakan jumlah jihadis yang berangkat ke Suriah dan Irak bergabung dengan NIIS.
Bantuan Hukum
Menurut Le Figaro, banyak jihadis asal Prancis yang mencoba untuk menegosiasikan kepulangan mereka setelah berbulan-bulan bersama NIIS. Banyak pemuda Prancis menghubungi pengacara atau keluarga mereka dengan pikiran itu. Pesan mereka yang dikumpulkan media ini menunjukkan banyak variasi, tetapi umumnya bertanya, "Jika saya kembali ke Prancis, apa yang akan terjadi pada saya? Dapatkah saya menghindari penjara? Apa yang harus saya lakukan?" Mereka merasa telah disesatkan dengan datang ke Suriah dan Irak.
Situasi itu yang membuat mereka bahkan mengukapkan hal-hal yang bernada cengeng, seperti kutipan berikut. "Saya sakit dan lelah. IPod saya tidak bekerja di sini. Saya ingin kembali!" Bahkan juga ada pasangan jihadis yang bertanya dan khawatir dengan nasib anaknya yang lahir di Suriah yang kemungkinan tidak mendapatkan status kewarganegaraan Prancis.
Para jihadis itu tengah berada pada situasi antara kebiadaban NIIS, tetapi juga tak terelakkan menghadapi tuntutan hukum karena terlibat dalam kelompok teroris dan berperang untuk kepentingan ‘’negara’’ lain.
Namun informasi yang dihimpun Le Figaro menunjukkan beberapa pengacara pada jihadis telah memutuskan untuk membantu. "Kami berada dalam kontak dengan polisi dan ‘’penjahat’’, tapi subjek ini hipersensitif, kata salah satu dari mereka, yang meminta namanya dirahasiakan, dan tetap anonim.
Jihadis Asal Indonesia
Bagaimana dengan jihadis asal Indonesia? Beberapa waktu lalu kita disadarkan bahwa NIIS yang juga dikenal sebagai ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau ISIL (Islamic State of Iraq and Levant) juga eksis di Indonesia dan ada pihak yang mengaku hal itu. Selain itu, sejumlah orang yang dikenal berasal dari Indonesia juga terlihat dalam jejaring sosial bersama mereka. Bahkan ada yang dikenal cukup gigih merekrut pemuda Indonesia.
NIIS yang makin terdesak, dan gambaran yang makin nyata banyaknya jihadis yang ingin pulang harus memberi kewaspadaan bagi Indonesia. Seperti yang dialami negara Barat, mereka masih bertanya apakah kepulangan sebagai pertanda ''pertobatan'' atau justru melanjutkan aksi lanjutan yang bisa lebih bahaya.
Keterlibatan mereka dengan NIIS dan berperang di negara lain menjadi landasan untuk menuntut mereka secara hukum. Namun masalahnya adalah bisakah aparat penegak hukum kita mengidentifikasi mereka secara cermat dan mengambil tindakan yang tepat. Sejumlah pakar dan negara telah menyebutkan dan memperingatkan bahwa mereka bisa menjadi ''bom waktu.''
Kita berharap pemerintah Indonesia antisipatif menghadapi mereka. Namun juga melihat mereka sebagai orang-orang yang menjadi korban situasi sosial sehingga menghadapi kondisi ''sense of anomie.''
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...