Transgender Pesantren Al Fatah: Kami Hanya Belajar Mengaji
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pesantren Al Fatah di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakarta, merupakan tempat puluhan transgender belajar agama dan mengaji. Pendrinya, Shinta Ratri mengatakan, Pesantren Al Fatah tidak menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan agama Islam.
Dia menjelaskan, aktivitas pengajian yang digelar setiap akhir pekan di Pesantren Al Fatah selalu menghadirkan guru agama Islam. Sekitar 20 transgender pun mengikuti kegiatan tersebut.
"Yang terjadi adalah kita mengajak kebaikan, memberi pemahaman tentang agama kepada teman-teman supaya dia bisa menata hidupnya, supaya dia mempunyai kekuatan di dalam dirinya, jadi teman-teman waria ini sudah terdiskriminasi jangan sampai dia kemudian lemah secara spiritual," kata Shinta menyikapi penutupan pesantren yang didirikannya pascamendapatkan ancaman penyegelan Front Jihad Islam (FJI), hari Jumat (19/2) lalu, seperti dikutip dari BBC, hari Sabtu (27/2).
Bertentangan dengan Islam
Menanggapi peristiwa tersebut, Camat Banguntapan, Jati Bayubroto, mengatakan ada tiga alasan Pesantren Al Fatah ditutup. Penutupan dilakukan setelah pertemuan pengelola Pesantren Al Fatah, perwakilan warga setempat, dan pemimpin FJI, di Kantor Balai Desa Jagalan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, hari Rabu (27/2).
Menurut dia, pertama, Pesantren Al Fatah tidak memiliki izin, kemudian bertentangan dengan nilai-nilai Islami, dan yang terakhir, sejumlah minuman keras pernah ditemukan di lokasi Pesantren Al Fatah berdiri.
Ubah Kehidupan Transgender
Sebelum ditutup, salah seorang penghuni Pesantren Al Fatah yang belum meninggalkan lokasi, Nuria Ayu, sempat diwawancarai wartawan BBC. Sosok yang mengaku telah tinggal selama empat tahun di tempat itu mengatakan, Pesantren Al Fatah senantiasa digunakan sebagai tempat mengaji. Bahkan, setiap hari Minggu, para penghuni Pesantren Al Fatah kerap melakukan salat berjamaah.
Nuria juga mengatakan, Pesantren Al Fatah telah mengubah kehidupannya. Dari yang hidup sebagai seorang pengamen jalanan, kini membuka usaha makanan. "Di sini, ya saya belajar agama. Sering juga mengajak teman-teman yang masih di jalanan agar mengaji di sini, supaya berhentilah dari kehidupan malam," katanya.
Namun, semenjak kampanye anti-lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) semakin berkumandang di Provinsi Yogyakarta, aktivitas teman-temannya pun jadi terhambat. Menurut dia, para transgender kini mendapatkan tekanan mental dan psikologis.
Kini, para transgender pun jadi takut bekerja. “Teman-teman waria ini kan yang paling gampang dikenali dari kelompok LGBT. Jadi otomatis dampaknya adalah tekanan mental dan psikologis yang dihadapi saya dan teman-teman yang tinggal di sini dan juga teman-teman yang menjadi santri,” kata Shinta.
Sejarah Singkat
Pesantren Al Fatah didirikan oleh seorang transgender sejak tahun 2008 yang telah tutup usia di tahun 2014 silam, Maryani. Maryani juga dikenal sebagai sosok yang rutin mengikuti pengajian di Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta sejak tahun 1997.
Setelah Maryani meninggal, Shinta menggantikannya dan lokasi pesantren pun pindah ke kawasan Kotagede, dengan mengambil tempat rumah Shinta. Menurutnya, Pesantren Al Fatah ingin mengajak para waria untuk memiliki nilai-nilai spiritual agar mereka dapat hidup dengan lebih baik.
"Jadi di sini dibangkitkan kekuatan individu secara spiritual, dengan pendekatan kepada Tuhan," kata Shinta.
"Kita tidak main-main untuk belajar agama. Ada kiai dan akademisi yang kita undang untuk pengajian. Dan tidak ada itu kita bikin kitab fiqih sendiri seperti yang diberitakan," tuturnya menambahkan.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...