Transparansi Pendanaan Parpol
SATUHARAPAN.COM – Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo memberi sinyal kuat skema pembiayaan partai politik (parpol) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan dia menyebut, setiap parpol akan mendapat anggaran Rp 1 triliun untuk parpol yang lolos ambang batas untuk ikut pemilu 2019 (10/3/2015). Dana tersebut tidak hanya digunakan untuk menyongsong pemilu, tapi juga untuk memutar roda organisasi partai, baik untuk kegiatan operasional maupun untuk pendidikan kader. Meskipun angkanya bisa berubah, namun sinyal ini menunjukkan adanya upaya terobosan untuk membangun kehidupan partai yang bersih dan akuntabel.
Bantuan untuk parpol sebenarnya sudah diterapkan di Indonesia meskipun jumlahnya dianggap masih terlalu kecil. Selama ini bantuan keuangan dari pemerintah diberikan kepada parpol yang perolehan suaranya melebihi ambang batas dan setiap suara diberi nilai Rp. 108. Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu 2009 dengan perolehan suara 21,6 juta misalnya, mendapatkan bantuan sekitar Rp. 2,3 miliar.
Bantuan pendanaan parpol yang dilakukan pemerintah selama ini terbilang sangat kecil. Dalam riset yang dilakukan Perludem, bantuan pemerintah tidak lebih dari 1,3 persen dari seluruh biaya yang diperlukan partai dalam mengelola organisasi setiap tahun. Karena itulah, pengelola partai politik mencari sumber-sumber keuangan dengan melakukan praktik-praktik koruptif. Hal ini antara lain ditandai dengan banyaknya politikus yang terjerat kasus korupsi.
Singkatnya, pendanaan parpol merupakan wilayah yang gelap. Dalam pemilu 2014 lalu memang ada sedikit kemajuan. Setiap peserta pemilu dan pilpres harus melaporkan dana kampanye sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 17 Tahun 2013. Namun demikian, upaya ini belum sepenuhnya mengubah habitus partai politik. Mahalnya biaya berdemokrasi membuat partai politik berlomba-lomba untuk mencari dana politik antara lain dengan berebut posisi-posisi strategis di pemerintahan dan mencari sponsor yang tidak jelas.
Tesis bahwa perilaku korup dan tidak transparan pengeloaan parpol karena minimnya “dana halal” yang dimiliki parpol memang masih bisa diuji kebenarannya. Namun, semua orang sepakat bahwa peningkatan kualitas demokrasi kita antara lain ditandai dengan peningkatan kualitas pengelolaan parpol. Suka atau tidak, parpol sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi poros penentu rekrutmen jabatan-jabatan politik. Karena itu, kualitas kehidupan berbangsa sebenarnya sangat tergantung pada kualitas parpol. Karena itu, aneh jika partai politik melalui wakil-wakilnya di DPR mendorong keterbukaan dan transparansi birokrasi, tapi pengelolaan parpol justru jauh dari nilai-nilai transparansi tersebut.
Di sinilah pentingnya mencari terobosan yang bisa memaksa partai politik mengubah kultur “gelap” menjadi “terang”. Jika tidak ada terobosan dan membiarkan partai politik nyaman dengan habitus buruknya, kehidupan demokrasi kita tidak ada peningkatan signifikan. Subsidi Negara yang memadai merupakan salah satu terobosan yang bisa dipikirkan kemungkinannya. Studi yang dilakukan Marcus Mietzner dalam Money, Power and Ideology (2013) juga memberikan isyarat, subsidi Negara yang memadai untuk pengelolaan parpol merupakan kemungkinan yang bisa menjadikan parpol lebih baik.
Tantangan
Banyak kalangan yang meragukan bahwa pemberian subsidi yang memadai merupakan jalan keluar yang benar untuk perbaikan parpol. Bahkan, gagasan pemberian subsidi Rp. 1 triliun dianggap sebagai gagasan sesat di tengah kenyataan banyak subsidi terhadap rakyat yang justru dicabut pemerintah. Ada beberapa tantangan yang menjadikan banyak kalangan skeptis dengan gagasan subsidi besar untuk parpol.
Pertama, parpol belum mempunyai perangkat transparansi dan akuntabilitas pengelelolaan keuangan APBN. Studi yang dilakukan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan, bantuan keuangan yang selama ini diberikan kepada partai politik tidak dikelola dengan transparan dan akuntabel. Karena itu, parpol harus didorong mempunyai perangkat pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Jika hal ini tidak dibenahi, memberi subsidi dana besar pada partai hanya akan menjadi “bancakan” di tengah sulitnya kehidupan rakyat.
Kedua, terkait dengan poin di atas, kesadaran pengelola parpol tentang keterbukaan informasi masih sangat rendah. Untuk mengukur tingkat keterbukaan informasi yang paling elementer adalah dengan melihat sejauh mana parpol menerapkan standar layanan informasi sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam Pemeringkatan Keterbukaan Informasi tahun 2014 oleh Komisi Informasi Pusat, dari 12 partai tingkat pusat yang dikirim formulir untuk self assessment, hanya 4 (empat) partai yang mengembalikan, yaitu Gerindra, PKS, PKB dan PAN. Dari tiga partai itu, setelah dilakukan verifikasi website dan visitasi untuk pengecekan dokumen, skor keterbukaan informasi tertinggi adalah 57 (dari nilai maksimal 100) dan terendah 16. Hal ini menunjukkan, prinsip-prinsip keterbukaan informasi masih jauh dari angan-angan pengelola parpol.
Ketiga, masih kuatnya kultur transaksi politik dengan barter materi. Sejumlah studi tentang money politics, baik dalam pemilu legislatif, pilkada, bahkan juga pilpres menunjukkan politik uang dianggap sebagai hal yang lumrah. Jual beli dukungan dalam pilkada baik antara kandidat dengan parpol, maupun kandidat dengan pemilih merupakan praktik politik yang nyaris dianggap “halal”. Tidak ada jaminan praktik seperti ini akan hilang dengan subsidi besar dengan uang APBN. Praktik demikian bukan semata persoalan dana parpol yang tidak mencukupi, tapi lebih karena kebiasaan korup yang dilakukan politikus.
Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut, pemberian subsidi APBN dalam jumlah besar pada parpol harus mempertimbangkan berbagai hal tersebut. Di samping mempersiapkan perangkat transparansi dan akuntabilitas parpol, mentalitas pengelola partai politik juga harus berubah. Di tengah lembaga-lembaga Negara dan aparat birokrasi yang mulai berubah dan mau menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan uang Negara, adalah hal yang aneh jika mentalitas pengelola parpol tidak berubah.
Jika perangkat tersebut belum dimiliki, sebaiknya pemerintah, terutama Kemendagri, berpikir ulang memberikan subsidi APBN dalam jumlah besar kepada parpol.
Penulis adalah dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Komisioner Komisi Informasi Pusat
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...