Trump Dukung Hak Menentukan Nasib Sendiri Palestina
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, diperkirakan akan mengambil posisi mendukung hak menentukan nasib sendiri rakyat Palestina selama kunjungannya ke Timur Tengah pekan ini, meskipun selama masa kampanye pilpres AS lalu posisinya negatif terhadap warga Palestina.
Awal Mei lalu, Penasihat Keamanan Nasional AS, H.R. McMaster, dalam konferensi pers mengatakan Donald Trump akan bertemu dengan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas dan akan menyampaikan keinginannya untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.
Daoud Kuttab, mantan professor Princeton University, dan pendiri Institute of Modern Media at Al-Quds University di Ramallah, dalam sebuah tulisannya yang panjang di Arab News, kembali mengutip pernyataan serupa dari H.R. McMaster yang disampaikan pada hari Minggu (21/05). Menurut dia, McMaster mengatakan Trump akan menyerukan "penentuan nasib sendiri" bagi Palestina selama kunjungannya ke Israel.
Walaupun seruan tersebut disambut baik oleh pejabat Palestina, AS sesungguhnya telah menyerukan hal yang sama selama bertahun-tahun namun tidak menunjukkan hasil. Dan ini menjadi sebuah ujian baru bagi masa depan Palestina dewasa ini.
Daoud Kuttab dalam analisisnya di Arab News tersebut menggambarkan perjalanan sejarah dukungan AS terhadap penentuan nasib sendiri bagi Palestina, dan bagaimana naik turun dan tarik ulur dukungan tersebut hingga saat ini.
Ia mengutip pendapat Yezid Sayigh, associate senior di Carnegie Middle East Center di Beirut, yang mengatakan bahwa penentuan nasib sendiri seharusnya tidak sepenuhnya sama dengan tujuan akhir seperti solusi satu atau dua negara. Dia meyakini penentuan nasib sendiri bisa berarti ganda, apakah itu berdirinya negara Palestina atau sesuatu yang berbeda.
"(Palestina) menjadi bagian dari Israel juga akan merupakan penentuan nasib sendiri jika secara kolektif diputuskan atau diterima oleh warga Palestina," kata dia.
Dimulai oleh Nixon
Pemerintahan AS selama puluhan tahun mengambil pendekatan bertahap atas penentuan nasib sendiri Palestina. Pada bulan Maret 1972, Ronald A. Ziegler, sekretaris pers Presiden Richard Nixon, mengatakan bahwa AS "akan menyambut setiap inisiatif yang akan memenuhi aspirasi yang sah dari rakyat Palestina."
Tiga tahun kemudian, administrasi Gerald Ford berbicara tentang kepentingan Palestina "yang sah".
Pada tahun 1975, Harold Saunders, wakil asisten menteri luar negeri untuk Urusan Timur Dekat dan Asia Selatan, menyampaikan isu tersebut di depan Subkomite Urusan Luar Negeri Kongres untuk Timur Tengah. Dia mengatakan bahwa "kepentingan sah orang Arab Palestina harus diperhitungkan dalam negosiasi perdamaian Arab-Israel."
Pada bulan Maret 1977, Presiden Jimmy Carter mengatakan: "Harus ada sebuah tanah air yang disediakan bagi para pengungsi Palestina yang telah menderita selama bertahun-tahun." Saat itu, Dewan Nasional Palestina menyambut seruan yang luar biasa untuk sebuah "tanah air" oleh presiden AS tersebut.
Namun kemudian, Carter mendekati masalah penentuan nasib sendiri Palestina dengan hati-hati selama perundingan Israel-Mesir Camp David. Pada bulan Januari 1978, dia berbicara tentang AS yang mendukung "partisipasi Palestina dalam menentukan masa depan mereka sendiri," dan dimasukkan ke dalam kesepakatan Camp David.
Perjanjian Mesir-Israel, dilakukan di bawah naungan AS, mengatakan sebuah resolusi yang dinegosiasikan "juga harus mengakui hak-hak yang sah dari rakyat Palestina dan persyaratan mereka yang adil."
Merosot di Era Ronald Reagan
Hanya saja, Pemerintahan Ronald Reagan kemudian mundur dari posisi itu dan tidak lagi memakai kata "rakyat Palestina" melainkan "pemerintahan sendiri." Pada tahun 1982, pemerintahan Reagan mengatakan: "Pertimbangan harus diberikan pada prinsip pemerintahan sendiri oleh penduduk wilayah dan Untuk masalah keamanan yang sah dari pihak-pihak yang terlibat. "
Di bawah Presiden George H. Bush, perundingan yang mendahului konferensi perdamaian Timur Tengah Madrid 1991, Menlu James Baker pada bulan Oktober 1991, memperkenalkan istilah "hak politik." Dia menuntut sebuah hasil yang harus memberikan keamanan "dan pengakuan atas semua negara bagian di wilayah ini, termasuk Israel, dan untuk hak politik sah rakyat Palestina."
Setelah konferensi Madrid gagal mencapai sebuah terobosan, terjadi pembicaraan rahasia PLO dengan Israel di Oslo yang membawa pengakuan timbal balik oleh Israel dan PLO dan penandatanganan Persetujuan Oslo 1993. Kesepakatan tersebut merupakan fondasi administratif bagi kontrol Palestina atas wilayah Tepi Barat dan Gaza untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Pada tahun 2002, George W. Bush mendorong pernyataan paling komprehensif mengenai masa depan Palestina. Dia mendukung konsep "tanah untuk perdamaian," dan menjadi presiden AS pertama yang mendukung seruan untuk "solusi dua negara."
Barack Obama mengambil komitmen pendahulunya lebih jauh lagi pada tahun 2011 dengan secara khusus mendukung "perbatasan permanen Palestina dengan Israel, Yordania dan Mesir, dan perbatasan Israel permanen dengan Palestina." Perbatasan, kata Obama, harus "berdasarkan pada garis 1967 dengan kesepakatan yang disepakati bersama," dan rencananya adalah untuk menciptakan sebuah " negara Palestina" bersebelahan di samping Israel. Deklarasi tersebut merupakan dukungan paling eksplisit untuk aspirasi Palestina.
Pilihan Trump saat ini selaras dengan pernyataannya dalam konferensi pers Februari dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu: "Saya melihat (mempertimbangkan, Red) solusi dua negara dan satu negara, dan saya menyukai yang disukai kedua belah pihak. Saya sangat senang dengan yang kedua belah pihak sukai."
Solusi Dua Negara vs Penentuan Nasib Sendiri
Marwan Muasher, mantan menteri luar negeri Yordania dan penulis peta jalan perdamaian 2002 yang merumuskan solusi dua negara, mengatakan kepada Arab News bahwa dia tidak lagi optimis tentang kemungkinan solusi dua negara karena pemukiman warga Israel yang terus berlanjut di wilayah Palestina yang diduduki.
"Solusi dua negara itu sudah mati dan oleh karena itu masyarakat internasional harus memperhatikan apa yang sedang terjadi di lapangan," kata dia.
Muasher percaya bahwa pendekatan baru tidak perlu dilakukan pada solusi dua negara. "Kita perlu beralih dari penekanan pada negara kepada penekanan hak-hak Palestina," kata dia kepada Arab News melalui e-mail.
Sayigh percaya bahwa ujian sebenarnya terjadi di lapangan.
"Seruan ini harus diterjemahkan ke dalam rencana aksi dan didasarkan pada asumsi strategis."
Dia mengatakan bahwa seharusnya lebih mudah untuk membangun dukungan domestik dan internasional seputar hak penentuan nasib sendiri sambil menghindari perdebatan tentang tujuan akhir seperti solusi satu atau dua negara.
Pertanyaannya, kata Sayigh, "...seberapa jauh perjuangan akan benar-benar berlanjut tanpa perlu menjelaskan bagaimana membangun penentuan nasib sendiri setelah pendudukan berakhir, karena tanpa melakukan hal itu, jauh lebih sulit untuk memperluas koalisi Anda sendiri dan membagi kamp politik yang berlawanan, baik di dalam Israel maupun di luar negeri," kata dia kepada Arab News.
Menurut Daud Kuttab, sesungguhnya bila Trump benar-benar akan menyerukan penentukan nasib sendiri bagi warga Palestina, itu hanya selangkah di depan komitmen yang diberikan oleh George W. Bush dan Obama, namun masih di belakang komitmen yang pernah diberikan oleh Jimmy Carter.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...