TTR: Rasa Kebangsaan Aparat Negara Lemah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah aparat negara memiliki rasa kebangsaan yang lemah karena tidak memahami tugas negara dalam melindungi setiap warga negara apapun agama dan keyakinannya. Negara bukan menjadi penentu kebenaran atau melakukan pemihakan terhadap pandangan keagamaan tertentu. Kesimpulan ini disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat setelah mendengar paparan Asisten III Setda Propinsi Jawa Timur Edi Purwinarto, Direktur Pidum Polri Heri Prastowo, dan Patrice Ronwari dari Kementerian Dalam Negeri.
Kesimpulan ini diambil dari diskusi Imdadun Rahmat bersama Andy Yentriyani dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Badriyah Fayumidari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Abdul Haris Semendawai dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kesimpulan disampaikan di acara Peluncuran Publik Laporan Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) tentang Penyerangan terhadap Penganut Syi’ah di Sampang Madura di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada hari Senin (26/8).
Imdadun Rahmat mengatakan, “Pembinaan terus menerus terkait dengan visi para pejabat negara harus dilakukan dan saya kira ini menjadi bagian penting Kementerian Dalam Negeri. Visi institusi dimana pejabat terlibat langsung dalam rekonsiliasi baik dari pusat maupun daerah dalam catatan kami ada indikasi ketidakjelasan posisi negara dalam konteks hubungan antara negara dan agama. Jadi kelhatan bahwa negara masih merasa berhak untuk menjadi wasit mana agama yang benar dan tidak padahal itu bukan wilayahnya. Rekonsiliasi harus dilakukan di atas visi itu dan konsep rekonsiliasi bukan bagian dari tobat menobatkan sekelompok orang.”
Pendekatan penanganan penyerangan terhadap penganut Syi’ah di Sampang yang semata-mata dilihat sebagai bencana sosial, terbatas pada penanganan pengungsian, merupakan reduksi persolan konflik Sampang yang kompleks dan multi aras. Reduksi ini menjadikan penanganan kasus menjadi parsial, ad hoc, ego sektoral, dan saling menolak tanggung jawab.
Lanjut Imdadun Rahmat, “Kesan yang kami temukan selama kami menangani kasus ini, bukan hanya kami empat lembaga negara ini, tetapi kami juga rekan-rekan civil society organization merasakan hal yang jelas tentang adanya lempar melempar tanggungjawab ini. Kami menggaris bawahi penegasan pihak kepolisian bahwa kami siap menjaga keamanan pengungsi kembali ke kampung halamannya.”
“Kepemimpinan Pemerintah Daerah memulangkan pengungsi menjadi kunci dari rekonsiliasi ini. Kami mengajak semua pihak mendukung tim rekonsiliasi Sampang. Kami mengapresiasi respon dari Presiden beberapa waktu yang lalu. Empat lembaga ini beberapa waktu yang lalu mengirim surat bersama-sama kepada Presiden untuk turun langsung meng-address persoalan ini. Kami melihat tim rekonsiliasi ini sebagai jawaban Presiden atas surat empat lembaga ini. Oleh karena itu untuk mengupayakan pemulangan sesegera mungkin dengan jaminan rasa aman dan keberlangsungan hidup. Memastikan rekonsiliasi berlangsung permanen, melalui dialog dengan mengintegrasikan kearifan lokal. Mendorong pemerintah melakukan kajian dan merevisi kebijakannya.” Kata Imdadun Rahmat.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...