Tuan Jokowi, Seriuskah ''Revolusi Mental'' ini?
SATUHARAPAN.COM – Presiden Joko Widodo mengajukan calon kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) seorang tersangka korupsi? Komisi III DPR dan DPR RI menyetujui seorang tersangka korupsi sebagai Kapolri? Dan Indonesia akan memiliki Kapolri seorang tersangka korupsi?
Ini sejarah! Dan sejarah yang buruk! Tersangka memang bukan terpidana, karena sangkaan harus dibuktikan. Persoalannya juga bukan pertama-tama pada Komjen Budi Gunawan sebagai calon, tetapi pada pihak yang mengajukan calon dan menyetujui calon.
Sangat disesalkan bahwa Presiden Joko Widodo justru tidak merespons dengan cepat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi. Sebaliknya justru menunggu keputusan sidang paripurna DPR tentang calon tunggal yang diajukan, dan sidang itu akan memutuskan persetujuan (atau penolakan).
Masalahnya akan menjadi rumit ketika Dewan menyetujui. Meskipun pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sebagai hak prerogratif presiden, tidak menjadi mudah untuk mengoreksinya, ketika proses berjalan sejauh ini. Sikap Presiden membuat masalah ini bisa menjadi rumit.
Sementara itu, di Dewan, sikap yang diambil juga sangat disesalkan. Komisi III DPR yang tetap menjalankan ‘’fit and proper test’’ terhadap calon, adalah tindakan yang layak dipertanyakan: ‘’Layakkah atau proper-kah ‘fit and proper test’ yang dilakukan Komisi III, yang tidak mempertimbangkan fakta bahwa ada nama Budi Gunawan sebagai tersangka di KPK?’’
Makin tidak layak ‘’uji kelayakan itu’’, karena Komisi III telah mengambil keputusan tanpa mencari informasi yang lengkap, termasuk pada KPK dan lembaga lain yang terkait untuk memastikan kelayakan calon. Padahal Komisi III telah disarankan untuk berbicara dengan KPK.
‘Setali tiga uang’ terjadi di DPR, yang dalam rapat paripurna mengambil keputusan tentang pencalonan itu. Dan sekali lagi, apa yang ditetapkan oleh KPK yang berupaya memberatas korupsi tidak digubris oleh lembaga tinggi negara ini.
Di Mana Konsistensi?
Apa konsekuensinya setelah semua ini terjadi? Bisa saja Presiden Jokowi tetap mengangkat Budi Gunawan ‘’yang menjadi tersangka kasus tipikor oleh KPK’’ sebagai Kapolri, dan jika keputusan pengadilan membuktikan dia bersalah, lalu diberhentikan. Dan kemudian mengangkat yang baru.
Masalahnya adalah bisakah Budi Gunawan berdiri di depan hukum sebagai Budi Gunawan, bukan Kapolri? Hal ini akan menjadi masalah yang pelik bagi KPK maupun institusi Polri dalam proses penyidikan dan pengadilan. Ini juga soal kredibilitas dan kepercayaan dalam penegakkan hukum, yang bisa membuat kasus yang dihadapi mengganggu efektivitas kinerja lembaga ini.
Masalah lain adalah bahwa Presiden Jokowi terlihat tidak konsisten. Dia meminta informasi dari KPK untuk membentuk kabinet yang ‘’bersih’’, dan telah dengan gencar publik mengapresiasi dan menyarankan untuk melakukannya juga pada calon pejabat lembaga penting, bahkan termasuk direktur BUMN. Mengapa untuk Kapolri, yang bahkan oleh KPK telah ditetapkan sebagai tersangka, hal yang sama justru tidak dilakukan.
Bagi institusi Polri, sikap keras pemerintahan mengajukan dan menyetujui calon tunggal, bahkan yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, adalah pelecehan. Seolah-olah di lembaga ini tidak ada orang yang pantas menjadi Kapolri kecuali yang diajukan oleh Presieden.
Seriuskan Revolusi Mental itu?
Jadi, seriuskan ‘’revolusi’’ mental yang dikampanyekan Joko Widodo? Kepala Polri adalah pimpinan lembaga penegakan hukum. Komitmen menegakkan hukum, dan terutama memberantas korupsi, harus dimulai dengan lembaga penegak hukum, dan di lembaga itu dimulai dari pemimpin. Lembaga ini semestinya dipimpin dan diisi oleh orang yang bukan ‘’pembengkok hukum’’, dan koruptor, meskipun baru disangka. Namun harus diingat bahwa penetapan status tersangka adalah pro justicia yang serius.
Kepada Tuan Presiden, Joko Widodo, mungkin ada dugaan di kalangan rakyat bahwa ada orang di samping atau belakang Tuan yang memaksakan nama untuk calon Kapolri, namun ini juga sebuah penegasan bawa Tuan adalah Presiden seluruh Rakyat Indonesia, bukan kelompok tertentu, apalagi orang tertentu. Dan juga sebuah penegasan kerinduan rakyat untuk Kapolri yang menegakkan hukum dengan tegas dan adil bagi semua.
Ini menjadi masalah serius, karena langsung mempertanyakan keseriusan Tuan dalam menjalankan ‘’revolusi mental’’ yang membuat rakyat memilih Tuan. Sebab yang ada di benak publik, ‘’revolusi mental’’ berarti penegakkan hukum, karena konstitusi kita menegaskan sebagai negara berdasarkan hukum.
‘’Revolusi mental’’ berarti pemberantasan korupsi, karena korupsi yang paling merusak kekuatan negara karena menyerang fondasi penting negara ini, yaitu kesamaan di depan hukum bagi semua warga. Dan revolusi ini semestinya dimulai dari lembaga penegak hukum.
Rakyat menunggu sikap Tuan Persiden, dan akan bergerak dalam barisan ‘’revolusi mental’’ yang sesungguhnya.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...