Tudingan Eropa Terhadap Sawit Indonesia Harus "Dilawan"

Sejumlah pekerja kebun kelapa sawit memilah dan mengangkut hasil panen di kawasan Kalidoni Palembang, Sumsel, Rabu (22/3). Sebagai salah satu provinsi dengan lahan kelapa sawit yang cukup luas yaitu sekitar satu juta Ha, Sumatera Selatan mampu mengekspor 70 persen hasil panen dan 30 persen lainnya untuk kebutuhan domestik. (Foto: Antara)

PONTIANAK, SATUHARAPAN.COM - Sekretaris Gapki Kalbar, Idwar Hanis mengatakan resolusi parlemen Eropa terkait kelapa sawit bersifat subyektif dan diskriminatif serta menjadi penyebab deforestasi dunia tak mendasar sehingga harus "dilawan".

"Kalau Eropa embargo produk makanan dan kosmetik yang mengandung sawit masuk ke pasar mereka mengapa kita lawan dengan mewajibkan produk makanan yang masuk ke Indonesia dari Eropa harus mengandung minyak sawit. Gapki satu suara, lawan," ujarnya di Pontianak, Minggu (23/4).

Ia menambahkan dari persoalan yang ada menurutnya yang penting ada satu suara dan gerakan untuk menepis isu miring tersebut.

"Kita dalam negeri harus satu suara dan satu gerak dalam langkah membela sawit. Kemudian untuk sisi pelaku usaha tetap semakin memantapkan pelaksanaan pembangunan sawit berkelanjutan," kata dia.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Tanjupura Pontianak, Ali Nasrun menilai munculnya penolakan produk sawit oleh Uni Eropa dipandang bukan hal baru dalam kancah politik ekonomi dunia.

Namun menurutnya jika itu benar terjadi maka pengaruhnya akan cukup serius bagi ekonomi Kalbar.

"Saat ini sekitar 20 persen ekonomi Kalbar masih bertumpu pada sektor ekonomi dari ekspor CPO yang merupakan produk utama dari perkebunan sawit. Adanya penolakan bahan bakar bersumber utama dari minyak sawit di Uni Eropa tentu dinilai sebagai ancaman serius bagi Indonesa khususnya Kalbar sebagai daerah produsen sawit yang cukup diperhitungkan di Indonesia," kata dia.

Ali menambahkan, isu deforestasi atau kerusakan hutan karena sawit harus ditangkal pemerintah dan pelaku usaha dengan cara meyakinkan dunia bahwa kita memang tidak merusak hutan dan itu harus dibuktikan.

"Permasalahannya selalu dari Eropa itu dari dulu menolak penjualan CPO kita yang katanya menyebabkan kerusakan hutan. Saya kira kejadian ini akan terus berulang, maka pemerintah Indonesia jawab. Jika main kucing-kucingan terus ya akan jadi masalah terus", jelasnya. (Ant)