Tujuh Pertanyaan Penting Memahami Bangkrutnya Ekonomi Yunani
ATHENA, SATUHARAPAN.COM - Ketika krisis ekonomi global terjadi tahun 2008, Yunani tidak siap menghadapinya, bahkan dianggap merupakan negara yang paling tidak siap. Berpuluh tahun pemerintahan negara ini dilanda masalah overspending, atau lebih besar pasak dari tiang. Dan penyakit itu tak pernah tersembuhkan.
Menurut The Guardian, yang menurunkan analisis perihal ini pada hari Jumat (3/7), dalam banyak hal, masalah seperti ini sebetulnya dihadapi juga oleh negara-negara lain seperti Spanyol, Irlandia dan Portugal, yang selama 10 tahun hidup di luar kemampuan mereka. Namun, Yunani menjelma menjadi semacam kasus khusus yang lain daripada yang lain. Pada tahun 2010, Yunani menjadi satu-satunya negara anggota Uni Eropa pertama yang mengirimkan sinyal marabahaya dan meminta pertolongan negara-negara anggota lainnya.
1. Mengapa Yunani Besar Pasak dari Tiang?
Sebelum menjadi negara anggota Uni Eropa pada tahun 2001, Yunani adalah salah satu negara utama penerima bantuan dari kelompok negara-negara maju di Benua Biru itu. Bantuan itu mulai mengering setelah Yunani bergabung dan UE mengalihkan bantuan itu ke negara-negara lain yang menjadi anggota baru UE. Diantaranya adalah kepada negara-negara Eropa Timur dan negara-negara Baltik sekaligus untuk mempersiapkan mereka bergabung menjadi anggota zona euro.
Kendati dana bantuan dari UE sudah mulai memgering, Yunani tetap saja tidak berubah. Kebiasaan berbelanja lebih besar daripada pendapatan, atau besar pasak dari tiang, tetap berjalan. Sebagian penyebabnya adalah justru karena mereka bergabung dengan UE. Diterimanya negara itu ke dalam kelompok negara-negara maju di Eropa itu, memberi mereka banyak kemudahan. Tingkat suku bunga yang rendah di zona euro menyebabkan negara itu dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank-bank komersial Eropa dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Akibatnya Yunani menjadi sangat tergantung pada pinjaman untuk mendanai pengeluaran.
Dalam 10 tahun sebelum bencana keuangan melanda negara itu pada tahun 2010, gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) naik dua kali lipat dan belanja kementerian melonjak. Lebih jauh, anggaran dan belanja untuk pertahanan yang sudah tinggi juga berlanjut melambung, dipicu oleh persaingan dengan negara tetangganya, Turki. Pada tahun 2011, tiga tahun setelah krisis 2010, Yunani masih menghabiskan € 4,6 miliar untuk belanja pertahanan, atau 2,1% dari PDB, bandingkan dengan rata-rata negara Uni Eropa dan NATO, yang hanya 1,6% dari PDB.
2. Mengapa Penerimaan Pajak tetap Rendah Kendati Ekonominya Tumbuh?
Seharusnya dengan pertumbuhan ekonominya yang sudah pulih, penerimaan pajak Yunani juga ikut terkerek. Dan dengan penerimaan pajak itu seharusnya Yunani dapat memperkecil defisit anggarannya. Namun yang terjadi justru berlawanan. Sebuah laporan oleh Uni Eropa pada tahun 2014 memperkirakan Yunani kehilangan sepertiga dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena penipuan dan penghindaran pajak. Hanya Lithuania, Latvia, Rumania dan Slovakia saja yang lebih parah dari kehilangan semacam ini.
Dengan sistem PPN yang memiliki enam lapis, para ahli pajak mengatakan sistem ini terbuka untuk manipulasi. Perkapalan, salah satu industri utama dan sumber kekayaan Aristoteles Onassis yang besar, dikenal sebagai zona bebas pajak. Di sisi lain pajak penghasilan dan pajak perusahaan, yang secara tradisional menjadi subjek penghindaran pajak yang besar, runtuh di tengah krisis keuangan.
3. Lalu Bagaimana Yunani Mendapatkan Uang?
Pemerintah Yunani dan perusahaan-perusahaan besar negara itu meminjam uang dari pasar uang internasional. Antara lain, mereka meminjam dari bank-bank Prancis dan Jerman, dengan imbalan mereka membeli barang-barang dari negara itu. Cara ini sebenarnya sering tidak bekerja. Misalnya, Yunani membeli dua kapal selam diesel dari Jerman dari anggaran pertahanan yang digelembungkan. Kapal ini tidak pernah beroperasi karena Angkatan Laut Yunani gagal memperbaikinya.
4. Mengapa Kebijakan Penghematan Tidak Memperbaiki Keadaan?
Troika, sebutan untuk tiga pihak yang menjadi kreditur Yunani (IMF, Bank Sentral Eropa (ECB) dan negara-negara UE) menyalurkan dana penyelamatan Yunani pada tahun 2010 dengan syarat dilaksanakannya kebijakan penghematan oleh Yunani. Kendati demikian, kebijakan penghematan itu tidak pernah meminta pemotongan anggaran pertahanan, tapi lebih diarahkan pada pengurangan gaji.. Dengan demikian, sementara anggaran Alutsista tetap utuh, tentara mengalami penurunan 40 persen gaji. Komitmen untuk membeli peralatan militer baru selalu dipentingkan dalam upaya menenangkan rakyat yang takut akan invasi Turki. Ini sebenarnya ironis karena dengan demikian anggaran Yunani terus digerogoti padahal sebagian besar peralatan militer tersebut tidak dapat digunakan.
5. Mengapa Tidak Ada Privatisasi dalam Agenda Yunani?
Awalnya para kreditur mengharapkan Yunani dapat membayar kembali utangnya setidaknya € 50 miliar dari penjualan aset-aset negara, ketika dana talangan tahap pertama disepakati. Angka itu kemudian direvisi menjadi € 30 miliar dan kemudian € 20 miliar pada saat dana talangan berikutnya disepakati pada tahun 2012. Lima tahun setelah dana talangan pertama, hanya € 2,5 miliar penjualan yang terealisasi.
6. Bagaimana dengan Pemotongan Anggaran Pertahanan Saat Ini?
Kreditur meminta pemerintah yang dipimpin Alexis Tsipras untuk memotong anggaran pertahanan sebesar € 400 juta, kurang dari 10% dari total anggaran. Pemotongan ini menjadi syarat untuk penyaluran dana talangan terakhir, sebesar € 7,2 miliar. Namun, Yunani menolak dan mengatakan hanya bisa memotong € 200 juta.
Beberapa analis mengatakan terhentinya rencana pemotongan anggaran ini sebetulnya lebih karena penolakan dari mitra koalisi nasionalis dan pro-militer Syriza serta kelompok independen Yunani. Selain itu kalangan militer yang tetap berpengaruh selama 40 tahun, juga menolak rencana pemotongan.
7. Apa Pelajaran bagi Indonesia?
Salah satu pelajaran penting bagi Indonesia dari kebangkrutan Yunani ialah pentingnya memelihara keberlanjutan anggaran atau fiskal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan rapuh bila tidak ditopang oleh kebijakan fiskal yang hati-hati.
Menurut Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro, Indonesia akan terhindar dari krisis gagal bayar utang seperti yang dialami Yunani bila tetap mempertahankan kebijakan fiskal yang hati-hati.
"Pelajaran penting dari kasus Yunani adalah sustainability fiscal. Itu yang paling penting, karena merupakan bagian untuk menjaga stabilitas ekonomi," ujarnya dalam sebuah jumpa pers di Jakarta.
Menurut Menkeu, Yunani merupakan contoh ketidakdisiplinan dalam mengelola utang. Itu menyebabkan negara tersebut terjerat dan tidak mampu bangkit dari gelembung utang yang terus membesar.
"Yunani seenaknya membikin defisit anggaran delapan persen, dan menutupnya pakai utang. Karena gampang mendapat utang, pengumpulan pajaknya menjadi lemah. Makanya ketika surat utangnya tidak prospektif dan jadi junk bond, mereka tidak bisa menutup defisit," kata Bambang.
Editor : Eben Ezer Siadari
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...