Turki Cabut Izin Siaran TV dan Radio Gulenist
ANKARA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Turki terus melancarkan pemberisihan dari pengikut Fetullah Gulen. Kali ini dengan mencabut hak siaran dan izin media kelompok Gulenist, dan memecat ribuan pegawai pendidikan.
Pada hari Selasa (19/7) pemerintah membatalkan semua izin televisi dan stasiun radio yang terkait dengan ulama Fethullah Gulen yang oleh pemerintah dituduh berada di balik kudeta yang gagal pada hari Jumat (15/7).
Pengawas penyiaran mengatakan bahwa pihaknya telah "membatalkan semua hak penyiaran dan izin untuk media yang memiliki kaitan dengan Feto atau PDY", singkatan yang digunakan untuk gerakan yang dipelopori oleh Gulen.
Gulen adalah sekutu dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, namun kemudian menjadi pengritik kerasnya. Gulen sejak tahun 1999 tinggal di Amerika Serikat.
15.200 Pegawai Pendidikan DIberhentikan
Sementara itu, lebih dari 15.000 pegawai pendidikan negeri Turki diberhentikan setelah kudeta pada pekan lalu, kata kementerian pendidikan, hari Selasa.
"Sebanyak 15.200 pegawai negeri telah diberhentikan dan penyelidikan telah dilakukan kepada mereka," katanya dalam sebuah pernyataan.
Ekstradisi Gulen,
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dan Presiden Turki, Tayyip Erdogan membahas status Fethullah Gulen yang dipersalahkan oleh otoritas Turki mendalangi kudeta yang gagal baru-baru ini. Keduanya berbicara melalui telepon hari Selasa, menurut keterangan Gedung Putih, seperti dikutip AFP.
Pemerintah Turki telah mengajukan materi dalam bentuk elektronik tentang Gulen kepada pemerintah AS yang menunggu permintaan ekstradisi secara formal, kata juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest.
Para pejabat AS mengatakan bahwa Turki harus memberikan bukti bahwa Gulen terlibat dalam upaya kudeta. Setiap permintaan ekstradisi dari Turki akan dievaluasi di bawah persyaratan perjanjian antara kedua negara, kata Earnest.
Obama menawarkan bantuan untuk investigasi kudeta dan menekan agar Erdogan melakukan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang digariskan dalam konstitusi Turki, kata Earnest.
"Prinsip-prinsip demokrasi harus ditaati, bahkan dalam seluruh penyelidikan yang dilakukan," katanya.
AS Departemen Luar Negeri mengatakan, masih dalam proses menganalisis dokumen yang diserahkan oleh Turki dan belum bisa menggolongkan mereka sebagai permintaan ekstradisi untuk Gulen.
Gulen, mantan sekutu Erdogan berusia 75 tahun, dan tinggal di pengasingan di Pennsylvania sejak akhir 1999. Dia membantah terlibat dalam kudeta yang gagal.
Tantangan Hukum AS
Sebelumnya, Kementerian kehakiman Turki mengirim berkas ke Amerika Serikat tentang Gulen, tapi tidak jelas apakah itu merupakan permintaan resmi ekstradisi.
Permintaan untuk mengekstradisi Gulen akan menghadapi rintangandalam hukum dan politik di Amerika Serikat.
Pengacara negara di departemen kehakiman akan memeriksanya untuk menentukan apakah dugaan pelanggaran itu merupakan kejahatan di kedua negara, dan apakah itu termasuk dalam ruang lingkup perjanjian ekstradisi kedua negara. Permintaan itu akan diserahkan pada seorang hakim yang akan memutuskan apakah ada kejahatan telah dilakukan terdakwa.
Jika syarat itu ditemukan, masih perlu mendapatkan persetujuan dari Menteri Luar negeri AS, John Kerry, yang dapat mempertimbangkan faktor-faktor non-hukum, seperti argumen kemanusiaan.
AS dan Turki memiliki perjanjian ekstradisi yang mulai berlaku pada tahun 1981 dan mencakup setiap pelanggaran dihukum di kedua negara yang hukumannya lebih dari satu tahun di penjara. Namun tidak mencakup pelanggaran "politik," meskipun tidak menutup kemungkinan "setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap seorang kepala negara atau kepala pemerintahan," menurut perjanjian itu.
Secara terpisah, Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa Wakil Menteri Luar Negeri AS, Tony Blinken, bertemu dengan duta besar Turki pada hari Selasa di Washington dan kemungkinan membahas masalah ekstradisi.
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...