Turki Masih Penjarakan 120 Jurnalis
ANKARA, SATUHARAPAN.COM- Turki masih menahan lebih dari 120 wartawan masih di penjara mereka, sebuah rekor secara global, dan situasi media di negara itu belum membaik sejak pencabutan keadaan darurat dua tahun lalu, kata laporan Internasional Press Institute (IPI), hari Selasa (19/11).
Turki mengumumkan keadaan darurat segera setelah kudeta yang gagal pada tahun 2016. Turki memecat atau menangguhkan 150.000 hakim, akademisi, perwira militer, pegawai negeri dan lainnya selama dua tahun itu. Mereka dicurigai mendukung ulama yang berbasis di Amerika Serikat, Fetullah Gueln, yang disalahkan oleh Ankara sebagai dalang kudeta. Lebih dari 77.000 orang dipenjara dan mereka masih menunggu persidangan.
Ratusan wartawan telah menghadapi tuntutan sejak kudeta itu dilumpuhkan, terutama atas tuduhan terkait terorisme, kata laporan terbaru IPI.
Menurut IPI, jumlah jurnalis yang masih di penjara telah turun dari sebelumnya berjumlah lebih dari 160 orang. "Di belakang angka-angka itu terdapat kisah pelanggaran hak-hak fundamental yang mengerikan, dengan lusinan wartawan ditahan atas tuduhan paling serius terkait terorisme. Mereka dipenjara berbulan-bulan, terkadang bertahun-tahun, sambil menunggu persidangan, dalam banyak kasus tanpa dakwaan resmi," katanya.
Para jurnalis dipenjara "sebagai konsekuensi dari tindakan keras yang digunakan untuk motivasi politik terhadap media," kata laporan itu. Ditambahkan bahwa Turki telah menjadi "penjara jurnalis terkemuka yang tak terbantahkan di dunia" selama hampir satu dekade.
Pejabat Turki tidak segera tersedia untuk mengomentari laporan tersebut. Namun lembaga itu mengatakan bahwa pengadilan Turki telah dibanjiri dengan banyak kasus sejak kudeta, tetapi tidak dapat memeriksanya dengan benar. Sebab, sepertiga dari semua hakim termasuk di antara mereka yang dipecat dari jabatan. Mereka juga diduga terkait dengan kudeta yang gagal.
Ankara mengatakan penahanan, pemecatan dan penangguhan penting untuk menjaga keamanan nasional, mengingat Turki menghadapi serangan dari Kurdi dan gerilyawan sayap kiri.
Para kritikus mengatakan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, menggunakan kudeta yang gagal itu sebagai dalih untuk menekan perbedaan pendapat dan memperkuat cengkeraman kekuasaannya, tuduhan yang juga dibantah Ankara.
Pengadilan terhadap banyak wartawan sejauh inimasih berlanjut. Pekan lalu, pengadilan Turki memerintahkan jurnalis dan penulis terkenal, Ahmet Altan, kembali ke penjara, sepekan setelah ia dibebaskan oleh persidangan ulang atas tuduhan terkait kudeta. Kasus itu dikecam oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia dan oleh IPI.
Editor : Sabar Subekti
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...