Ulama dan Pendeta Redakan Kerusuhan Baltimore (+Video)
BALTIMORE, SATUHARAPAN.COM – Selama kerusuhan di Baltimore pada Senin (27/4), dua kelompok berdiri menghadapi demonstran yang melakukan kekerasan. Ada polisi, tentu saja, walaupun mereka objek kebencian atas kematian Freddie Gray saat dalam tahanan polisi. Dan ada puluhan rohaniwan, Kristen dan Muslim.
Sulit untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki efek yang lebih menenangkan. Wali Kota Stephanie Rawlings-Blake memuji keduanya. Namun kehadiran para rohaniwan di publik— meskipun membahayakan mereka—membantu untuk menyoroti reformasi baru-baru ini di Baltimore yang mencakup polisi bekerja sama dengan komunitas-keagamaan.
Dua tahun lalu, Komisaris Polisi Anthony Batts mendirikan divisi “kemitraan masyarakat” yang dipimpin, Letnan Kolonel Melvin Russell yang juga seorang pendeta. Batts mengatakan ia ingin polisi bekerja dengan lembaga-lembaga agama “untuk mengatasi kehancuran, kemarahan, konflik lingkungan, kemiskinan, dan kejahatan di dalam kota.” Polisi dan para pemimpin agama sering mengadakan acara bersama-sama, misalnya dengan mobil melakukan patroli keliling atau membagi-bagikan makanan gratis.
Jika Baltimore sedang memperbaiki struktur sosial setelah kerusuhan, pendeta harus berada di garis depan. Dua tahun lalu, kata Batts, “norma budaya” dari polisi sangat jauh dari nilai-nilai masyarakat. Saat itu, di kota berpenduduk 600.000, 100.000 orang ditangkap setiap tahun.
Polisi yang terlibat baik dengan tokoh masyarakat dapat mencegah dan mengurangi kejahatan. Pada Maret, “Satuan Tugas Kepolisian abad ke-21” bentukan Presiden Obama menyatakan bahwa kerja sama polisi dan rohaniwan ini adalah “kontrol sosial informal ... adalah mekanisme yang jauh lebih kuat untuk mengendalikan kejahatan dan pengurangan dari hukuman formal.”
Reformasi polisi Baltimore sejak 2013 telah membawa penurunan tajam dalam keluhan tentang kekasaran polisi dan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Namun reformasi ini tidak cukup dalam untuk mencegah tragedi yang memicu protes damai pekan lalu dan kemudian berubah menjadi kerusuhan. Banyak anggota rohaniwan, beberapa di antaranya bekerja sebagai pendeta polisi, telah menyerukan perubahan lebih lanjut di kepolisian.
Baltimore memiliki banyak pemangku kepentingan dalam mengendalikan kejahatan, dari sekolah ke politikus. Jika para rohaniwan juga terlibat, bahkan bekerja di garis depan kerusuhan, itu patut disyukuri.
Kulit Hitam Mati di Tahanan
Bentrokan jalan meletus pada Senin (27/04) di kota Baltimore, AS, setelah pemakaman pria kulit hitam yang meninggal dalam tahanan, saat pengunjuk rasa melempari polisi dengan bebatuan dan botol.
Sedikitnya satu petugas yang terlihat sedang dibawa pergi mengalami cedera saat sekelompok pengunjuk rasa keturunan Afrika-AS melawan polisi yang bersenjata tameng dan helm antihuru-hara.
“Kelompok itu menolak untuk mengikuti perintah pembubaran kami. Beberapa petugas lain cedera,” kata Kepolisian Baltimore di Twitter.
Kekacauan muncul setelah pemakaman Freddie Gray, pria kulit hitam berusia 25 tahun yang meninggal karena cedera tulang belakang pada 19 April, sepekan setelah dia ditangkap dan ditahan di Baltimore, bagian utara Washington.
Kematiannya memicu demonstrasi pada akhir pekan di kota pelabuhan tersebut, dan sudah ada puluhan penangkapan dan puluhan polisi yang cedera sebelum kerusuhan terbaru.
Polisi negara bagian tiba dengan mobil van lapis baja untuk membantu departemen kepolisian Baltimore, dan proses belajar di universitas lokal dihentikan di tengah rumor tentang adanya aksi kekerasan yang lebih serius.
Kerusuhan pecah berhari-hari. Jam malam diberlakukan, tetapi dilanggar. Polisi di Baltimore melepaskan bom asap dan peluru merica ke ratusan demonstran yang melanggar jam malam yang diberlakukan di sepanjang kota Baltimore pada Selasa (28/4) malam, kata pihak kepolisian dan media Amerika Serikat.
Jam malam tersebut, mulai berlaku pada pukul 22.00 (Rabu 14.00 WIB), diterapkan selama sepekan. “Para petugas saat ini menembakkan peluru lada ke arah massa yang agresif di North Ave/Pennsylvania Ave,” tulis polisi di Twitter, sementara CNN dan stasiun berita TV lainnya mengatakan bahwa petugas polisi juga menggunakan bom asap sebagai upaya untuk memberlakukan jam malam.
“Para pelanggar jam malam menolak mengikuti perintah dari petugas untuk meninggalkan area itu,” kata polisi di Twitter, menambahkan bahwa “para penjahat” menyalakan api di luar sebuah perpustakaan kota.
Kendaraan lapis baja bergerak ke zona pertikaian di antara polisi dan demonstran, menurut beberapa gambar di TV. Jam malam tersebut berlaku sampai pukul 05.00. Sampai saat ini, kondisi di Baltimore masih tegang. (csmonitor.com/independet.co.uk/AFP)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...