Ulin, Kayu Besi yang Terancam Punah
SATUHARAPAN.COM – Raja Salman dari Arab Saudi dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia berkesempatan menanam ulin, bersama Presiden Joko Widodo di taman belakang Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Maret 2017. Jenis tanaman tersebut dipilih langsung Presiden Joko Widodo. Menurutnya, kayu ulin merupakan jenis kayu yang paling kuat. Ulin yang merupakan tanaman khas Kalimantan itu juga biasa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan.
Ulin, atau dikenal dengan kayu besi, menurut Wikipedia mempunyai nama Latin Eusideroxylon zwageri. Ada juga yang menyebutnya bulian. Pohon berkayu ini tanaman khas Kalimantan, jenis pohon asli Indonesia (indigenous tree species) yang digolongkan ke dalam suku Lauraceae.
Pohon ulin termasuk jenis pohon yang pertumbuhannya lambat. Kayu ulin sangat diminati masyarakat karena sangat awet dan kuat, sangat cocok digunakan sebagai bahan bangunan.
Kayu ulin yang biasanya diperdagangkan merupakan kayu ulin yang berasal dari pohon ulin di alam dengan usia ratusan tahun. Akibat terus diperdagangkan, keberadaan pohon ulin di alam semakin berkurang dan harga kayu ulin di pasar sangat tinggi atau mahal.
Meskipun harganya tergolong mahal, sampai saat ini belum banyak masyarakat yang membudidayakan ulin, sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan kayu ulin masyarakat masih sangat bergantung pada habitat aslinya di hutan alam. Hal ini semakin menyebabkan populasi pohon ulin di alam menurun, bahkan terancam punah.
Pohon ulin adalah bahan baku utama untuk membuat rumah bagi warga Kalimantan yang bermukim di daerah rawa dan perairan. Sudin Panjaitan, peneliti Bidang Silvikultur Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mengatakan, populasi ulin di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan, diperkirakan tinggal 20 persen dibandingkan dengan kondisi 40 tahun lalu.
”Penebangan kayu ulin secara tak terkendali mempercepat kepunahan. Sekarang untuk mencari pohon ulin berdiameter 20 sentimeter sulit sekali. Saat pohon berdiameter 10 cm sudah ditebang orang,” katanya, di Banjarbaru, dikutip dari Kompas.com, 9 April 2010.
Sukaesih Pradjadinata dan Murniati dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, meneliti pengelolaan dan konservasi jenis ulin di Indonesia, serta pemanfaatan kayu ulin yang terus meningkat menyebabkan jenis ini terancam kepunahan.
Nilai ekonomi kayu ulin yang tinggi memicu penebangan besar-besaran, termasuk penebangan liar. Hal ini mengakibatkan populasi ulin di alam menurun signifikan, sehingga dikategorikan rawan (vulnerable) dalam Red List IUCN.
Upaya konservasi jenis ini belum optimal, menurut kedua peneliti itu, diperlukan dukungan kebijakan, peraturan perundangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil penelitian mereka menyajikan informasi dan analisis tentang ulin meliputi aspek: bioekologi, status pengelolaan dan konservasi, usaha konservasi in-situ dan ex-situ, tantangan pengelolaan, dan konservasi dan rekomendasi pelestarian.
Pemerian Botani Pohon Ulin
Ulin, menurut Wikipedia termasuk jenis pohon besar yang tingginya dapat mencapai 50 m dengan diameter sampai 120 cm. Pohon ini tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 400 m di atas permukaan air laut.
Di bagian bawah pohon ulin terdapat bagian yang berlubang. Ulin memiliki keragaman morfologi yang sangat tinggi berdasarkan sifat-sifat vegetatif maupun sifat generatif (terutama pada bentuk dan ukuran buah atau biji). Kayu teras pada bagian dalam pohon ulin berwarna cokelat kehitaman, sedangkan kayu gulbalnya berwarna cokelat kekuningan. Apabila direndam di air dalam waktu yang lama, warna batang ulin yang telah dipotong-potong berubah menjadi hitam.
Banir pohon ulin dapat mencapai ketinggian 4 meter. Kulit luar pohon ulin berwarna cokelat kemerahan dengan tebal 2-9 cm. Kulit pohon ulin memiliki tekstur licin.
Tajuknya berbentuk bulat dan rapat serta memiliki percabangan mendatar. Daun pohon ulin tersusun spiral, tunggal dengan pinggir rata berbentuk elips hingga bulat dengan ujung daun meruncing. Permukaan daun bagian atas kasar tanpa bulu, sedangkan bagian bawahnya berambut halus pada ibu tulang daunnya.
Bunga ulin cepat luruh, berwarna kehijauan, kuning, atau lembayung. Bunga ulin simetris ke segala arah.
Buah pohon ulin merupakan buah batu berbentuk elips hingga bulat dan berbiji satu. Daging buahnya bergetah, licin, dan bening. Di dalam satu buah ulin terdapat satu benih. Kulit benih ulin sangat keras dan beralur berwarna cokelat muda. Benih ulin memiliki berat bervariasai, antara 45 – 360 gr/butir.
Saat ini pohon ulin terbesar ditemukan di Taman Nasional Kutai, Kutai Timur, Kalimantan Timur, dengan tinggi bebas cabang mencapai 45 meter dan diameter pohonnya 225 cm.
Pohon ulin, mengutip dari foresteract.com, memiliki banyak nama lokal. Selain dikenal sebagai kayu besi, juga memiliki nama lokal lain, yakni bulian, bulian rambai, onglen (Sumatera Selatan), belian, tabulin, telian, tulian, dan iron wood.
Ulin, menurut Wikipedia tumbuh baik di hutan tropis basah, pada tanah yang tidak tergenang air, di daerah datar dekat sungai dan anak-anak sungai, daerah bergelombang hingga punggung bukit. Selain di Kalimantan, ulin secara alami ditemukan juga di Sumatera bagian timur dan selatan, Pulau Bangka dan Belitung, Kepulauan Sulu, dan Pulau Palawan di Filipina.
Di Kalimantan, pohon ini umumnya ditemukan di sepanjang aliran sungai dan sekitar perbukitan membentuk tegakan murni hutan primer dan sekunder.
Konservasi Pohon Ulin
Kayu ulin dikenal sebagai kayu yang awet dan kuat sehingga memiliki banyak manfaat dan sangat diminati masyarakat. Tetapi, karena pertumbuhan pohon yang lambat, budidaya ulin sangat sedikit, stok di alam sangat terbatas, menyebabkan pohon ulin terancam punah.
Menurut Karel Heyne 1987, dalam bukunya, Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I-IV (Jakarta: Penerjemah Balitbang Kehutanan), kayu ulin memiliki kekuatan yang sangat baik dan tahan lama sehingga sering digunakan untuk konstruksi kapaI, pelabuhan, jembatan, rumah dan bantalan reI kereta api.
K Sidiyasa, dalam penelitian berjudul “Sebaran, Potensi dan Pengelolaan Ulin di Indonesia” dalam Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia), (Bogor, 18-19 Januari 2011), mengatakan selain mempunyai nilai ekonomi tinggi dan kegunaan beraneka ragam, ulin memiliki nilai khusus yang tidak terpisahkan dari budaya dan ritual tradisional masyarakat .
Menurut A Martwijaya A dan kawan-kawan dalam buku berjudul Atlas Kayu Indonesia Jilid II, Penerbit Puslitbang Kehutanan Bogor (2005), kayu ulin yang sangat kuat dan awet digolongkan dalam kelas kuat dan kelas awet I. Kayu ulin digunakan untuk berbagai keperluan, seperti fondasi bangunan di dalam air dan lahan basah, atap rumah (sirap), dan tiang.
Di Banjarmasin fosil kayu ulin dijadikan batu cincin dan perhiasan. Selain itu, masyarakat di daerah Sumatera dan Kalimantan memiliki kebudayaan membuat rumah panggung dari kayu ulin di pinggir sungai atau rawa, karena hanya kayu ulin yang mampu bertahan di air.
Hal yang sama disampaikan D Wahjono dan R Imanuddin, dalam laporan berjudul “Sebaran, Potensi dan Pertumbuhan/Riap Ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm & Binn) di Hutan Alam Bekas Tebangan di Kalimantan”, Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-jenis Pohon yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia), Bogor, 18-19 Januari 2011.
Permintaan kayu ulin meningkat, seiring dengan laju pertambahan penduduk dan pesatnya pembangunan gedung dan perumahan. Kondisi ini mengancam kelestarian pohon ulin, karena sumber bahan baku kayu ulin hanya diambil dari hutan alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Saat ini, populasinya menipis bahkan pada beberapa tempat sudah langka dan sulit ditemukan.
Ironisnya, proses pemuliaan alami di hutan bekas tebangan, umumnya kurang berjalan baik. Perkecambahan biji ulin membutuhkan waktu sekitar 6-12 bulan dengan persentase keberhasilan relatif rendah. Produksi buah tiap pohon umumnya juga sedikit. Penyebaran permudaan alam secara umum cenderung mengelompok.
Pembibitan dan penanaman, baik in-situ maupun ex-situ telah dilakukan di beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera. Di luar Pulau Sumatera dan Kalimantan jenis pohon ulin bisa ditemukan di Arboretum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Bogor dan di Hutan Penelitian Sumberweringin Bondowoso, Jawa Timur.
Karena populasinya yang terus menurun, International Union for Conservation of Nature and Natural Resouces(IUCN) memasukkannya ke dalam Red List Species dengan kategori rawan (vurnerable A1cd+2cd ver 2.3). Berarti jenis ini di alam menghadapi risiko tinggi terhadap kepunahan dalam waktu dekat (IUCN, 2012).
Untuk menjaga kelestarian ulin, diperlukan berbagai upaya seperti kebijakan pengelolaan dan pemanfaatannya, penanaman di habitat aslinya (in-situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ), serta pemeliharaan pasca penanaman.
Tegakan alam ulin yang masih terdapat di hutan lindung, taman nasional dan hutan primer, juga perlu dipertahankan sebagai plasma nutfah, tegakan benih (seed stand) dan pohon induk (mother trees).
Manfaat Herbal Pohon Ulin
Aulia Ajizah dan kawan-kawan dari Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, meneliti potensi ekstrak kayu ulin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro. Ia menyebutkan, ulin atau kayu besi telah digunakan secara lokal sebagai obat tradisional melawan sakit gigi.
Sebagian masyarakat di Kalimantan telah biasa mengunakan air rebusan kayu ulin untuk mengobati sakit gigi. Adanya tradisi menggunakan air rendaman kayu ulin untuk mengobati sakit gigi menimbulkan dugaan kayu ulin mengandung zat atau senyawa yang dapat membunuh kuman penyebab sakit gigi (antibiotik).
Akan tetapi, ada pula kemungkinan khasiat ulin untuk mengatasi sakit gigi itu hanya karena kayu ulin mengandung zat atau senyawa yang dapat mengurangi rasa sakit (analgesik). Uji fitokimia pendahuluan mengindikasikan kayu ulin mengandung berbagai senyawa kimia, antara lain golongan alkaloid, flavonoid, triterpenoid, tanin, dan saponin.
Flavonoid, triterpenoid, dan saponin adalah senyawa kimia yang memiliki potensi sebagai antibakteri dan antivirus. Dilihat dari kandungannya itu, diduga kayu ulin memang mempunyai potensi untuk membunuh kuman atau mikroba. Karena masyarakat biasa mempergunakan untuk mengobati sakit gigi, pengujian daya antibakteri kayu ulin sebaiknya juga dilakukan terhadap bakteri yang biasanya terdapat di mulut dan bisa menyebabkan sakit gigi. Di antara kuman-kuman tadi, Staphylococcus aureus sering dipakai dalam pengujian daya antibakteri.
Selain terdapat di dalam mulut, Staphylococcus aureus juga dapat menginfeksi jaringan atau alat tubuh lain dan menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas seperti peradangan, nekrosis, dan pembentukan abses. Jenis kuman ini juga dapat membuat enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan.
Hasil penelitian Aulia menunjukkan pertumbuhan bakteri terbelakang oleh 1 persen dan 1,5 persen ekstrak, dan tidak ada pertumbuhan bakteri yang diamati dalam media yang mengandung 2 persen dan 2,5 persen ekstrak kayu ulin serta dalam kontrol positif.
Penelitian yang yang hampir sama dilakukan Handry Darussalam, analis kesehatan Poltekkes Kemenkes Kaltim. Handry meneliti uji sensitivitas ekstrak kayu ulin terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus secara in vitro.
Editor : Sotyati
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...